Senin, 21 September 2009

A lil' poem about him

Aku melihat jauh kedalam matanya
Aku melihat begitu banyak rahasia didalamnya
Rahasia tentang kehidupan, aku rasa.
Rahasia yang justru membuat dirinya menarik.
Namun tatapan matanya membawa kehangatan,
Membawa keramahan tanpa ada kesombongan sedikitpun.
Ia tulus, aku tahu.
Ketulusannya membuat banyak orang menyenanginya.
Saat ia tersenyum...
Kedamaian merasuki hatiku
Membuatnya berdebar dengan kencang, namun membuatku bahagia.
Damai yang ia timbulkan...
Ia bagaikan jiwa yang hilang dari diriku
Aku pincang tanpanya yang menjadi sebelah kakiku,
Aku tuli tanpa ia yang membantuku mendengar,
Aku buta tanpa cahaya yang ia bawa.
Dialah yang aku cari...
Dia yang aku percaya akan mencintaiku dengan tulus...


*Renata*

Sabtu, 18 Juli 2009

Feelings part 6

6. Nadine Yang Lain




Aku mengantarkan Nadine pulang kerumahnya. Akhirnya dokter membolehkan Nadine keluar dari rumah sakit karena merasa Nadine baik-baik saja. Tapi menurutku, Nadine bukan hanya baik-baik saja, namun sangat baik. Bahkan aku maupun orangtuanya tidak perlu repot-repot memapahnya. Dia sudah bisa jalan sendiri dengan sangat sehat.

” Waaahhh....Rumahnya bagus sekali... Mobilnya juga bagus-bagus banget!”

Tapi Nadine aneh. Masa dia kagum sama keadaan rumahnya sendiri? Udah gitu, awalnya dia nggak mengenali kami semua. Kata dokter sih, mungkin itu karena akibat benturan dikepalanya.

” Waaahhh dikulkasnya banyak buah!!” Nadine langsung mencomot apel dan memakannya dengan sangat cepat.

” Nadine, sebaiknya kamu istirahat dikamarmu,” ujarku cemas.

” Istirahat lagi?? Hey, aku ini sudah tidur selama dua minggu dirumah sakit! Masa aku harus tidur lagi? Gak mau! Aku mau latihan karate! Tubuh ini lembek sekali! Aku harus membentuk otot-otot!”

Hah? Apa dia bilang? Otot-otot???

Nadine! Kamu kenapa?

Tidak ada jawaban. Dia tidak menyahutku dalam pikiran. Dan aku juga TIDAK BISA membaca pikirannya!!!

” Nadine, sejak kapan kamu berlatih karate?” tanya mamanya.

” Hah? Kok nanyanya aneh banget! Kan udah dari dulu! Dari aku SD!” sahutnya.

Kami semua terbengong. Terlebih lagi kedua orangtuanya. Aku baru tahu kalo Nadine berlatih karate. Kurasa orangtuanya juga tidak menyangkanya. Yang aku tahu Nadine itu menyukai balet. Bukan karate. Bahkan dulu dipukul sedikit saja dia langsung menangis. Sekarang dia bilang dia ikut karate dari SD? Sepertinya kepalanya memang benar-benar terbentur.

“ Tante, eh, mama...Aku lapar. Bisa masakkan aku makanan??”

Lapar? Dia baru saja menghabiskan dua belas kotak pizza! Bagaimana bisa dia lapar lagi? Aku saja rasanya mau muntah! Sejak kapan Nadine serakus ini?

” Ehm, iya. Kamu mau makan apa, darling?” tanya mamanya sambil menghampirinya yang sedang duduk dikursi meja makan yang sedang mengunyah apel keenam.

” Apa saja! Yang penting banyak dan enak!” sahutnya dengan suara nyaring.

Huft...aku nggak ngerti dengan Nadine yang sekarang.

” Nak Panji, bisa bicara sebentar?” papanya Nadine menyuruhku mengikutinya keteras depan. Aku pun mengikutinya. ” Duduklah.”

Aku duduk dikursi teras. Bersebelahan dengan papanya yang tampaknya masih bingung.

” Kau lihat perubahan pada Nadine, kan?” – aku mengangguk. ” Aku sangat khawatir padanya. Aku harus kembali ke New York mengurusi rencana ayahmu,” – aku jadi sangat merasa bersalah. ” Bisa kau jagakan Nadine untukku?”

Aku memandang ayah Nadine yang juga memandangku dengan penuh harap. Aku nggak mungkin menolak untuk menjaga Nadine. Tidak dimintapun aku pasti menjaganya.

” Aku akan menjaga Nadine dengan baik, om!” sahutku.

” Aku percaya padamu. Tolong juga jaga ibunya, tapi tidak perlu seprotektif pada Nadine. Rencananya aku akan menyuruh beberapa anak buahku untuk berjaga disini. Ya walaupun aku tahu mereka pasti akan menolak. Terlebih lagi Nadine. Jagalah Nadine walaupun anak buahku juga menjaganya. Jangan biarkan apapun melukai Nadine. Kau paham?”

” Paham sekali, om. Tapi aku pikir apa tidak mengundang perhatian jika Nadine selalu diikuti anak buah om? Maksudku, mereka kan rata-rata bule...”

” Ah, soal itu. Jangan khawatir. Anak buahku yang orang Indonesia juga banyak. Akan kusuruh beberapa dari mereka berjaga disini.”

Aku mengangguk paham. ” Maafkan ulah ayah saya, om. Saya juga tidak setuju dengan semua rencanya.”

” Aku mengerti, nak Panji, ini bukan salahmu. Absolutely...” ujar ayahnya Nadine. Setidaknya ucapannya dan kepercayaannya padaku membuatku tenang.

Tercium bau harum masakan dari dapur. Aku jadi merasa lapar. Tapi tentu saja tidak sopan kalau aku minta makan sekarang.

” Bau masakan istriku memang enak. Dan rasanya pun enak. Bagaimana kalau kita makan dulu?” - yes! Akhirnya aku ditawari makan. Tapi untuk menjaga wibawaku, aku hanya mengangguk pelan. Padahal dalam hati aku mengangguk-angguk seperti anjing. Hahahahaha...

Kami pun berjalan menuju meja makan. Di meja makan Nadine sudah menunggu dengan mata yang berbinar dan lidah terjulur. Mengingatkanku dengan anjing. Seingatku, Nadine adalah gadis yang anggun dan sopan. Aku duduk disampingnya.

Ibunya Nadine pun menghidangkan masakannya dimeja makan. Setelah berdoa bersama kami mulai mengambil nasi dan lauk pauk. Tapi aku kaget melihat Nadine yang makan dengan tergesa-gesa. Semua makanan dia comot. Dan nasinya pun menggunung dipiringnya. Olala... Bukan hanya aku yang kaget, tapi orangtuanya pun sama kagetnya dengan aku.

” Nadine, pelan-pelan saja makannya...” ujar ayahnya.

” Higa hiha! Hanhi hebuhu hahis! (Tidak bisa! Nanti keburu habis!) Ahu higa henah mahan mahanan heehak ihi! (Aku tidak pernah makan makanan seenak ini!)” ujarnya dengan mulut penuh.

” Hah? Kau kan setiap hari makan masakan ibumu!” ucapku. Tapi Nadine tidak mempedulikanku. Dia terus saja melahap makanannya dengan beringas. ” Nadine!” aku menarik piringnya. ” Kamu itu cewek! Nggak seharusnya makan dengan rakus seperti itu!”

Nadine menatapku marah. Tiba-tiba saja tinjunya menghantamku, membuat aku jatuh dari kursi. Tenaganya besar sekali.

” Jangan pernah sekali-kali menggangguku makan!!” bentaknya. Lalu dia pun meneruskan acara makannya. Aku terbengong-bengong melihatnya.

* * *

Sialan... Nadine membuat pipiku lebam.
Tapi aku heran. Sejak kapan gadis selembut Nadine memiliki tenaga sebesar itu. Aku yakin dia tidak menggunakan seluruh tenaganya. Jika ya, mungkin aku sudah terbang akibat ditonjoknya. Fiuh... Nadine...Nadine... Seperti bukan kamu saja! Aku tiba-tiba merasa geli dan tertawa terbahak mengingat kelakuan Nadine yang sekarang. Mungkin memang benar ini akibat benturan dikepalanya.

Aku kembali memandang wajahku yang lebam dicermin. Lalu meraih tasku dan beranjak menuju kampus. Hari ini aku membawa mobilku kekampus. Untuk berjaga-jaga siapa tahu aku harus mengantarkan Nadine pulang. Aku harus memenuhi janjiku untuk menjaga Nadine. Yah...Aku akan menjaganya.

Ketika aku tiba dikampus, aku melihat Nadine turun dari mobil alphard hitam diikuti oleh dua priba berbaju hitam dan berkaca mata hitam. Hemm.. Mereka itu bodyguardnya Nadine. Kurasa mereka itu orang-orang profesional. Aku menghampiri mereka setelah memarkirkan mobilku. Kedua bodyguard itu langsung protektif terhadap Nadine.

” Tenang, aku Panji, aku diminta pak Dimas untuk menjaga Nadine,” ujarku.

” Pak Dimas tidak berbicara apa-apa tentang hal itu!” ujar bodyguard yang berkepala botak.

” Sudah! Kamu jauh-jauh sajalah dari dia. Dia tidak kami ijinkan didekati siapapun! Ayo nona!” kata bodyguard berambut cepak.

BUAKKKK!!!!, ” Apa yang kalian katakan, hah?! Seenaknya saja aku tidak boleh didekati! Dia itu temanku tahu! Kalian seharusnya yang jauh-jauh dariku! Bikin repot saja! Ayo Panji!”

Aku sempat melongo sebelum mengikuti Nadine. Dia menendang dua bodyguardnya itu sampai tidak bisa bangun lagi dari tanah. Kurasa Nadine tidak perlu bodyguard... Hahahahahaha...

” Kenapa kamu tertawa?” tanya Nadine.

” Tidak apa-apa!” jawabku masih sambil terus tertawa.

Nadine yang sekarang jauh lebih menarik. Lebih bersemangat dan tidak semuram dulu.

” Eh, mana kalung yang biasa kau pakai?” tanyaku heran. Biasanya kalung berbandul cincin itu tidak pernah lepas dari leher Nadine.

” Oh, kalung itu ku copot. Rasanya leherku geli kalau pakai kalung!” sahutnya cuek.

Hah? Bukannya kalung itu berharga untuknya, ya? Itu kan kalung pemberian Edgar yang selalu dia ajak bicara itu... Apa mungkin Nadine sekarang sudah mau meninggalkan masa lalunya? Baguslah kalau begitu.

” Grrr.... Aku sebal. Apa sih maunya bapak itu! Pakai acara menyuruh bodyguard mengikutiku. Aku kan bisa menjaga diriku sendiri. Lagipula mereka menjagaku dari apa? Kalo Cuma dari cowok-cowok mesum sih bisa kujaga diri sendiri!”

” Bapak itu? Siapa?” tanyaku bingung.

” Bapak yang mengaku ayahku!” sahutnya.

” Lho? Dia kan memang ayahmu!”

” Tapi berlebihan sekali dia menjagaku!”

” Karena dia sangat menyayangimu. Aku juga akan menjagamu, kok...” Hem...pasti dia merasa tersanjung.

” Apa?? Kamu melecehkanku, ya? Kamu pikir aku nggak bisa menjaga diriku sendiri, hah?” Nadine membentakku. Aku terhenyak kaget. ” Kamu menantangku berantem, ya?!!”

Hah? Aku menantangnya berantem? Tentu saja nggak. Sejak kapan Nadine sekasar ini? Biasanya jika ku puji wajahnya akan merona. Tapi sekarang kenapa justru jadi marah-marah?

” Ng-Nggak kok, Nadine... Tenang saja... Aku nggak akan ikut campur masalahmu,“ ujarku akhirnya daripada kena tonjok lagi.

Nadine pun menurunkan tinjunya. “ Baguslah kalau begitu. Sebaiknya memang begitu,“ dia kembali berjalan. “ Eh, ngomong-ngomong, kita masuk kelas yang mana?“

Aku menggenggam tangan Nadine dan menariknya agar mengikuti aku. ” Ikuti saja aku dan jangan jauh-jauh dariku.”

Jantungku berdebar kencang. Is it love?? Seketika aku merasakan wajahku memanas. Sial... Aku melepaskan genggamanku ketika tiba didalam kelas. Seluruh penghuni kelas memperhatikanku dan Nadine. Yang kubaca dari pikiran-pikiran mereka adalah bahwa mereka iri padaku karena bisa dekat dengan Nadine. Dan yang cewek-ceweknya merasa cemburu pada Nadine. Hahahaha…entah kenapa aku merasa senang.

“ Panji! Nadine!” Gianny memanggil kami sambil melambaikan tangannya. Aku menarik tangan Nadine lagi agar mengikutiku duduk disamping Gianny.

” Umm...Nadine... Daritadi orang-orang itu mengikutimu terus.” Gianny berbisik.

Aku dan Nadine menoleh kearah pintu. Ternyata bodyguard Nadine masih mengikuti sampai depan kelas.

” Katanya sih mereka itu bodyguard,” sahut Nadine tak acuh. ” Padahal kan aku tidak perlu dijaga! Aku sanggup menjaga diriku sendiri!”

” Oiya, aku sudah mendapat penglihatan lagi tentang the black hat!” Gianny berbisik sambil mendekatkan kepalanya pada aku dan Nadine.

” Ha? Apaan tuh the black hat?” tanya Nadine bego.

Aku dan Gianny bengong. Saling lirik lalu memandang wajah Nadine yang innocent. Bagaimana bisa Nadine melupakan tentang mafia yang membunuh pacarnya? Aku nggak sanggup ngomong lagi.

“ Kamu nggak ingat siapa itu the black hat?” tanya Gianny memastikan.

“ Eh, um.. mafia yang membunuh pacarku itu bukan?” tanyanya salah tingkah.

Gianny mengangguk pelan. Dia merasa ada yang aneh dengan Nadine. Kurasa dia merasakan lagi aura aneh disekitar Nadine. Jujur, ini memang aneh. Aku sama sekali tidak bisa membaca pikirannya lagi. Bahkan tidak bisa berkomunikasi melalui pikiran lagi. Membuatku tidak nyaman. Aku jadi tidak tahu apa yang Nadine pikirkan. Sangat tidak nyaman.

” Ada progress apa?” tanya Nadine.

” Menurut penglihatanku, mereka akan mulai bergerak sekitar enam bulan lagi,” jawab Gianny. ” Entah apa yang mereka tunggu. Tapi mereka sangat berhati-hati kali ini.” Wajahnya berubah serius. ” Semoga penglihatanku salah!” ujarnya sambil menggelengkan kepalanya.

” Ada apa, Gia??” tanyaku.

” Akan ada yang mati.” sahutnya.

” Mati? Siapa? Para mafia itu?” tanyaku. ” Atau salah satu dari kita?”

Gianny menunduk. ” Salah satu dari kita.” bisiknya pelan.

Salah satu dari kami akan ada yang mati. Kalaupun harus begitu, kuharap bukan Nadine. Aku akan melindunginya. Karena semua ini memang salahku. Aku nggak akan membiarkan apapun terjadi pada Nadine. Tidak akan. Aku bersumpah.

” Selamat pagi, class!” dosen kewiraan sudah datang. Kami semua langsung diam dan pura-pura memperhatikan. Padahal kami semua sibuk dengan pikiran masing-masing.

Feelings part 5 - AKU HANYA MEMPERHATIKAN

5. Aku Hanya Memperhatikan




” Nadine...”

Aku menoleh kesumber suara yang tidak asing bagiku. Itu suara Edgar. Dia masih sama gantengnya dengan terakhir kali aku lihat.

” Edgar...”

” Sepertinya kamu lelah menjalani rutinitasmu,” ujar Edgar lembut seraya tersenyum.

Aku rindu dengan senyuman itu.

” Mau ikut bersamaku untuk beberapa waktu? Kita refreshing...” sambungnya. Aku tidak mengerti dengan maksudnya.

” Refreshing gimana?? Aku masih harus sigap untuk menghadapi para mafia itu, Edgar...” sahutku.

Edgar tersenyum lagi. ” Kemarilah...” dia menyodorkan tangannya untuk kusambut. Aku ragu sejenak namun akhirnya menyambut tangannya. ” Untuk sementara kamu hanya memperhatikan saja, Nadine...Akan ada yang menggantikanmu mengurus urusanmu didunia...”

Edgar menarik tanganku menyusuri lorong putih itu.


* * *

IN PANJI’S EYES

Aku tidak tega melihatnya dalam keadaan seperti ini. Menyedihkan sekali tidak dapat membaca pikirannya lagi. Aku duduk dikursi samping tempat tidurnya. Aku sedih melihat jarum infus menancap ditangannya yang mulus. Aku tidak menduga dia akan mengalami kecelakaan mobil. Jika tahu akan begini, lebih baik aku tidak mengatakan kebenarannya. Biarkan saja seperti sebelumnya.

Wajahnya masih saja terlihat cantik walaupun tampak pucat dan alat bantu bernapas menutupi hidung dan mulutnya. Hhhh...kenapa nggak dari dulu saja aku menyatakan perasaanku padanya?

Matanya terbuka! Mata Nadine terbuka!

Aku segera memencet tombol untuk memanggil suster. Beberapa menit kemudian suster datang.

” Suster, Nadine sadar!!” ujarku histeris. ” Cepat panggil dokter!”

Lalu beberapa menit kemudian seorang dokter yang sudah tampak tua, dokter yang menangani Nadine, dan tiga orang suster datang diikuti oleh orangtua Nadine yang terlihat lelah. Wajar saja...sudah hampir dua minggu Nadine koma.

” Kondisinya baik-baik saja, hanya beberapa memar dibadan dan kepalanya saja. Dia masih harus dirawat untuk beberapa waktu sampai kondisinya pulih,” kata dokter setelah memeriksa keadaan Nadine.

Bola mata Nadine bergerak memperhatikan satu per satu orang yang ada diruangan rumah sakitnya. Lalu terakhir, matanya tertuju padaku lalu pada dokter.

” Dok, bisa lepaskan alat bantu napas ini tidak?” Nadine bersuara. ” Ini sama sekali tidak membantu justru malah menyusahkanku!”

” Belum bisa, kamu kan belum pulih betul,” jawab dokter.

Namun akhirnya Nadine membuka sendiri alat bantu napasnya dan duduk dari tidurnya.

” Nadine!!” mamanya Nadine langsung memeluk anaknya sambil menangis bahagia. ” Akhirnya kamu bangun juga sayang...”

Nadine menoleh dengan ekspresi datar. ” Aku lapar! Bisa bawakan aku sepuluh kotak pizza?”

Kontan kami semua yang ada didalam ruangan terbengong-bengong. Aku heran, koko ada orang baru bangun dari komanya selama dua minggu justru langsung minta pizza? Sepuluh kotak pula!

” Nak, kamu belum boleh makan pizza. Makan makanan rumah sakit saja ya...Nanti dibawakan...” papanya Nadine yang pertama sadar dari syoknya.

” Om, maaf, maksudku ayah, aku baik-baik saja! Aku merasa sehat! Aku lapar!!” ujar Nadine dengan nada sedikit keras dan kasar. Seperti bukan Nadine saja.
Ah tapi mungkin ini karena dia masih linglung akibat koma selama dua minggu.

” Suster bawakan makanan rumah sakit saja ya,” dokter tersebut masih ngotot membawakannya makanan rumah sakit.

Kulihat Nadine menatap galak sang dokter, lalu dia melepaskan sendiri jarum infus yang menancap ditangannya lalu melompat menerjang si dokter. Aku takjub melihatnya. Seperti bukan Nadine saja. Ku coba membaca pikirannya. Yang kubaca adalah dia memang benar-benar memikirkan makanan. Kontan aku tertawa ngakak. Seluruh orang diruangan memandangku aneh.

” Maaf, maaf...aku permisi sebentar...” aku langsung keluar dari kamar rawat Nadine. Dan melanjutkan tawaku.

” Panji!”

Aku menoleh kearah kiri. Kulihat Gianny datang dengan wajah bingung.

“ Kau kenapa??“

“ Hahahaha...Tidak apa-apa... Kau datang menjenguk?“ tanyaku.

Gianny mengangguk. “ Nadine sudah sadar?“

Aku terkekeh kecil. “ Lihat saja kedalam!“

Gianny bingung melihat ekspresiku. Lalu dia membuka pintu kamar rawat Nadine. Langsung terdengar suara heboh Nadine dari dalam sana. Kulihat wajah Gianny pucat.

Dia memandangku, ” Nadine kenapa?”

Aku terkikik lagi. ” Entahlah, dia jadi begitu ketika sadar.”

” Lepaskan aku!! Aku sehat!! Aku baik-baik saja!! Aku mau pizza!!!” Nadine menjerit sambil terus meronta karena tangannya dipegangi olet perawat.
” Jauhkan jarum suntik itu dariku!!! Hei! Hei! Pak tua!! Jauhkan jarum itu!! Apa yang kau la...ku...kan...” seketika Nadine tertidur lagi.

” Dokter, anak saya kenapa? Kenapa wataknya jadi berubah begitu?” mama Nadine terlihat cemas.

” Saya juga tidak mengerti. Mungkin kepalanya terbentur, sehingga dia masih linglung. Saya akan periksa hasil rontgen-nya lagi. Permisi.“ Dokter dan perawat-perawatnya pergi.

Aku mendekati tubuh Nadine yang terbaring. Ingin aku mencium keningnya. Gianny berdiri disampingku. Tatapannya cemas dan kosong. Dia berbicara padaku dalam pikirannya.

Gianny : Ada yang aneh dengannya.

Aku berbisik, ”Aku juga berpikir begitu. Tapi kurasa dia sudah sehat”.

Gianny : Aku merasakan aura aneh disekeliling Nadine. Bukan aura jahat, sih, justru auranya sangat nyaman. Tapi entah aura apa ini.

Aku : ” Mungkin aura malaikat penjaganya?”

Gianny : Mungkin.

Aku : ” Kau tidak bisa melihatnya??”

Gianny menggeleng pelan.

” Ya ampun, nak...kamu ibu bersyukur kamu sehat-sehat saja...” mamanya Nadine duduk disofa kamar rawat sambil menhela napas lega. Papanya Nadine duduk disamping mamanya.

” Yeah...hahahaha...kurasa dia sangat baik-baik saja. Bangun dari koma selama dua minggu lalu minta dibelikan pizza?? Hahahahaha...” papanya tertawa geli.
” Sebaiknya aku memang membelikannya sebelum dia bangun dan mengamuk minta pizza lagi...” papanya Nadine bangkit dari sofa. ” Kurasa kalian juga lapar. Akan aku belikan pizza juga ya...”

Pak Dimas, papanya Nadine, keluar dari ruangan. Kulihat mamanya Nadine, tertidur disofa. Wajahnya tampak lega. Beda dari kemarin-kemarin.

” Ini aneh, Panji!” Giannya berbisik padaku. ” Nggak ada makhluk halus yang nggak bisa aku lihat!”

Aku menatap wajah malaikat Nadine yang sedang tertidur pulas. Entah hanya dalam perasaanku saja atau bukan, aku merasa dia bukan Nadine yang kukenal. Aku merasa asing dengannya.

Aku dan Gianny menunggu diluar kamar. Duduk dikursi tunggu sibuk dengan pikiran masing-masing. Sudah dua minggu sejak kecelakaan itu, aku sangat bersyukur Nadine sudah sadar sekarang. Jika saja dia tidak bangun lagi, aku tidak akan memaafkan diriku sendiri. Jujur kuakui, aku memang menyukai Nadine. Sejak pertama kali bertemu, sejak pertama kali tahu dia bisa membaca pikiran. Entah apa jadinya jika dia tahu siapa aku sebenarnya. Mungkin dia akan membenciku seumur hidupnya.

Nadine, adalah gadis yang anggun dan periang. Namun setelah orang yang dia sayangi meninggal, dia menjadi pemurung. Menyesakkan melihat dia terus murung sepanjang waktu.

Handphoneku berdering. Aku merogohnya dari saku celana jeans dan melihat siapa peneleponnya dilayar handphone. Aku menghela napas lalu berjalan menjauhi Gianny.

” Halo,”

” Tuan muda, kapan tuan muda akan kembali? Tuan besar menyuruh Anda untuk segera pulang,” aku mengenali suara ini. Dia adalah salah satu bodyguard dirumahku di New York.

” Bilang padanya, sebelum dia mengabulkan apa yang aku minta, aku tidak akan pernah pulang!” sentakku seraya memutuskan sambungan teleponnya.

” Ada masalah lagi, Nji?” tanya Gianny yang entah sejak kapan ada dibelakangku.

” Dia menyuruhku untuk pulang,” sahutku. Gianny tahu rahasia yang aku tak bisa mengatakannya pada Nadine. Dia tahu karena dia mengetahuinya sendiri tanpa perlu aku repot-repot untuk menceritakannya.

” Lalu kenapa kamu tidak pulang saja? Kamu bisa saja membicarakan lagi hal itu dengannya,”

” Aku tahu bagaimana sifat ayahku. Jika aku kembali kesana, dia tidak akan membiarkanku kembali kesini. Dan melakukan tindakan sesuka hatinya. Aku harus menghentikannya!” ujarku. Aku mulai stres. Aku benci pada ayahku yang begitu suka seenaknya sendiri.

” KELUARKAN AKU DARI SINI!!!”

Aku mendengar suara teriakan Nadine dari dalam kamar. Aku dan Gianny saling pandang. Lalu sama-sama tertawa.

” PIZZA YANG KAU BAWA ITU KURANG!!! AKU MINTA KAN SEPULUH KOTAK! KENAPA CUMA DUA KOTAK??”

Aku lihat ayah Nadine keluar dari kamar. Dia memandang aku dan Gianny dengan pandangan tak percaya. Dia menggelengkan kepalanya.

” Apa sebelumnya Nadine memang banyak makan dan kasar begitu?” tanyanya pada kami.

” Sebelumnya Nadine selalu murung, lebih banyak diam dan jarang makan,” Gianny yang menjawab.

” Sudah berubah rupanya dia sekarang,” papanya Nadine duduk dikursi tunggu. ” Tapi syukurlah, sepertinya dia tidak lagi meratapinya...”

Feelings: part 4 - kenyataan

4. Kenyataan




Aku merasa seperti disambar oleh petir. Seluruh tubuhku mengejang dan kaku. Pikiranku kosong seperti orang tolol. Mataku terbelalak kaget. Aku merasa hampa selama beberapa saat. Lalu aku merasa mataku panas dan kusadar bahwa air mataku siap meluncur.

Pintu kelas sudah dibuka. Seluruh teman-teman masuk kedalam kelas, kecuali Panji. Dia masih memerhatikan aku dan Gianny. Napasku sesak, bibirku bergetar. Kusadar aku akan segera menangis. Dengan sigap aku segera bangkit dan berlari menuruni tangga. Aku memutuskan bolos kuliah hari ini.

Ada apa Nadine? Kau kenapa?

Panji mengejar dibelakangku. Aku berusaha lari secepat aku bisa. Aku berhasil tidak didului Panji dan melesat keluar lobi kampus dan menembus hujan. Aku segera masuk kedalam mobilku. Tapi Panji segera mengikutiku, Gianny berada dibelakangnya. Mereka menahan pintu mobilku sebelum aku sempat menutupnya.

” Tidak! Tinggalkan aku!” jeritku ditengah-tengah gemuruh petir.

” Ada apa, Nadine?” tanya Panji balas berteriak untuk mengalahkan suara derasnya hujan.

Dibelakangnya, Gianny menyentuh bahunya dan memberi isyarat untuk mendekatiku. Mengajakku berbicara.

” Nadine, kau harus mendengarkan penjelasanku. Baru kau boleh memilih untuk memusuhiku atau tidak.” Gianny menatap mataku lekat-lekat.

Oke. Disinilah aku sekarang. Didalam kamar Panji bersama Gianny dan Panji – tentu saja. Keduanya duduk dilantai - sepertiku – dihadapanku. Keduanya menunduk menatap lantai seperti yang aku lakukan. Panji tiba-tiba bangkit dan kembali lagi kehadapanku setengah menit kemudian. Ia membawa dua helai handuk merah.

” Pakailah, Nadine. Keringkan dulu tubuhmu.” – aku menatapnya tiga detik lalu menerima sodoran handuknya karena menyadari aku menggigil. ” Kau juga, Gianny.”

Aku melilitkan handuk merah yang lebar itu kesekeliling tubuhku yang masih mengenakan pakaian lengkap. Begitu juga Gianny.

” Jelaskan padaku semuanya,” tuntutku pada Gianny dengan suara bergetar karena menggigil kedinginan.

Gianny menatapku lalu kembali memandang lantai. ” Aku memang tunangan Edgar. Tidak, sebenarnya orangtua kamilah yang menjodohkan kami. Aku mencintai Edgar. Sama seperti kau yang mencintainya. Aku mengenal Edgar sejak balita. Rumah kami berseberangan. Kondisi badanku sangat lemah waktu itu. Aku tidak bisa bermain keluar rumah sedikitpun. Sekolahpun aku harus dirumah. Aku sering memperhatikan kau dan Edgar bermain dihalaman rumah Edgar. Aku iri sekali pada kalian, tapi aku sadar bahwa aku takkan pernah bisa menjadi seperti kalian

” Aku mempunyai penyakit leukimia. Sampai sekarangpun kondisi tubuhku tidak juga membaik. Aku masih sering dirawat dirumah sakit. Namun saat itu, kondisiku benar-benar kritis. Aku sudah akan mati. Namun aku mempunyai permohonan terakhir pada kedua orangtuaku,” gigi Gianny bergemeletruk sambil bercerita. Dengan gesit, Panji bangkit lagi untuk membuatkan teh panas untuk Gianny dan aku.

” Kalian berdua minumlah ini,” Panji menyodorkan dua gelas besar berisi teh panas pada kami. Lalu kembali bersila dilantai.

” Terima kasih. Permintaan terakhirku saat itu simpel saja. Aku hanya ingin Edgar menjadi milikku. Hanya milikku.” Gianny meneruskan ceritanya. Dia seperti tidak menyadari bahwa setiap katanya merupakan pedang yang tajam yang mengiris-iris hatiku. ” Dan akhirnya kedua orangtuaku memohon-mohon pada orangtua Edgar agar Edgar kecil mau bertunangan padaku. Karena tidak mungkin kami menikah.” Gianny meletakkan gelasnya dilantai dan tangannya mencengkeram bahuku.

” Beruntung aku tidak jadi mati. Dan Edgar tetap saja setia padamu!” suara kita melengking memilukan. ” Saat aku tahu dia mati karena melindungimu, aku memutuskan untuk menemuimu. Namun kau sudah pindah ke Indonesia,”

” Jadi kau mengikutiku kesini?” potongku.

” Ya!” sahutnya tegas.

” Untuk apa? Balas dendam padaku?” tanyaku galak.

Gianny melepaskan cengkeramannya dan kembali terduduk lemah. ” Awalnya seperti itu. Namun setelah aku tahu siapa Panji sebenarnya, aku membatalkan niatku. Aku akan membantumu melawan The Black Hat dan membunuh semuanya!” mata Gianny berapi-api.

” Memangnya Panji itu siapa?” tanyaku makin bingung karena kondisi sudah semakin membingungkanku.

” Aku tak bisa mengatakannya padamu, Nadine. Karena semua itu justru akan mengacaukan masa depan yang akan terjadi,” ujar Gianny.

Siapa kau?, aku bertanya dalam pikiran pada Panji.

Aku...aku...si gembala sapi, Panji berusaha melucu.

Tidak lucu!, sahutku kecut. Beritahu aku!

Panji melirik Gianny memohon pertolongan.

” Panji menyukaimu, Nadine!” sahut Gianny. Aku tak tahu ia benar atau berbohong padaku.

” Lalu?” aku semakin bingung.

” Dia ingin melindungimu dari para mafia itu,” jelas Gianny.

Aku bagaikan disambar petir kembali. Hal yang paling aku takuti dan aku benci kembali menghadapku. Orang-orang terdekat dihidupku berusaha menyelamatkanku dengan rela mengorbankan nyawa mereka. Tidak. Aku tidak mau. Aku tidak akan membiarkan orang-orang disekelilingku terlibat masalahku. Jika aku harus mati, biarlah aku mati sendiri. Tidak perlu melibatkan orang-orang disekelilingku.

” Tidak!!!” tanpa aku sadari, aku menjerit. Mereka berdua memandangku dengan kaget. Aku memandang mereka sejenak lalu aku melempar handuk sembarangan dan berlari keluar kamar. Aku merasa benci pada diriku sendiri.

Aku masuk kedalam mobil lalu mengendarainya kencang-kencang ditengah hujan yang sangat lebat. Lalu tanpa aku lihat, sebuah truk menyalip dengan kecepatan tinggi dan menghantam mobilku.

Feelings part 2 : 2. PANJI NUGRAHA

Panji Nugraha




Hari esok rasanya datang cepat sekali. Sehingga aku tidak sadar kalau aku sudah tertidur lama sekali. Hampir lima belas jam! Dengan semangat yang tidak aku mengerti aku pergi kekamar mandi. Lalu dengan semangat yang tidak kumengerti juga, aku mencari pakaian terbaikku – lalu aku sadar, pakaianku sudah lama semua, kemudian aku berdandan. Bukan dandanku seperti kemarin. Tapi benar-benar berdandan. Memakai pelembab, bedak, lipgloss oranye dan parfum!

Aku memandang pantulan wajahku dicermin. Kemudian aku mengernyitkan dahi sambil berpikir. Aku dandan untuk apa? Untuk siapa? Semangatku sudah lenyap saat selongsong peluru menembus dada orang yang sangat kucintai. Cahayaku sudah padam satu setengah tahun yang lalu. Ada apa denganku? Aku kembali berpikir. Wajah Panji yang ceria dan ganteng sekali itu terlintas dibenakku.

Panjikah yang membuatku seperti ini?

Tidak mungkin. Bahkan aku baru saja mengenalnya. Baru satu hari. Well, tidak genap satu hari sih. Kurang lebih seperti itulah.

Aku mendengar suara pintu dibuka. Ibuku. Tentu saja. Siapa lagi?

Ibuku juga mengernyit sambil mencium bau diudara. “ Kau pakai parfum?”

“ Mmmm…” sungguh, aku malu sekali.

Tapi ibuku tersenyum penuh sayang padaku. Aku mendengar pikirannya bahwa ia senang aku kembali normal. Tidak terpuruk seperti sebelumnya. Ibuku masuk menghampiriku. Kemudian memelukku dan mengecup pipiku.

“ Putriku memang cantik,” pujinya.

Bisa kurasakan pipiku panas dan pasti merona merah.

“ Yaiyalah…” sambung ibuku lagi. “ Ibunya juga cantik, pasti anaknya juga cantik!” candanya seraya nyengir padaku.

Mau tak mau aku pun ikut nyengir. “ Ah, mom…kau bisa saja menghibur diri sendiri,” aku balas candaannya.

“ Tapi sayang sekali cuaca tidak secerah hatimu,” kata ibuku sambil menatap air hujan yang turun dibalik jendela dengan penuh sesal.

“ Aku lebih suka begini,” sahutku. Ibuku menatapku heran. “ Aku suka harum tanah yang basah oleh hujan. Cuacanya juga. Walaupun dingin, tapi cuaca seperti ini menentramkan hatiku.”

“ Hmmm…Kurasa aku juga suka hujan,” timpal ibuku. “ Aku tidak perlu repot-repot menyiram bunga-bungaku!”

Aku tersenyum pada ibuku. Dan ibuku membalasnya juga.

“ Kau kuliah jam berapa?” tanyanya kemudian.

“ Jam tujuh lima puluh,” jawabku. “ Sekarang jam berapa?”

“ Tujuh tiga puluh,” jawaban ibuku membuatku melompat berdiri dari kursi riasku.

“ Aku bisa terlambat!”

“ Pakai jaketmu, darling,” mom mengingatkanku.

Aku menyambar jaket abu-abu yang sudah kusiapkan di atas tempat tidur. Aku mengecup ibuku lalu setengah berlari keluar kamar menuju garasi dimana mobilku terparkir.

“ I love you mom!” aku berteriak pada ibuku yang melepas kepergianku dari teras.

“ I love you, too!” balas ibuku. “ Jangan hujan-hujanan!”

“ Aku pulang agak telat,” aku mengingatkan ibuku atas rencanaku mampir ke tempat kost Panji.

“ Jangan terlalu malam!” ibuku member ultimatum.

“ Jangan khawatir!” seruku sebelum menutup pintu mobil dan menekan pedal gasku.

Hari ini berbeda dengan hari kemarin. Kemarin aku malas sekali datang sebelum jam kuliah dimulai. Namun hari ini aku tidak ingin datang terlambat. Mungkin aku akan sangat kecewa jika tempat duduk disebelah Panji sudah diduduki orang lain.

Aku mengeluarkan liontin yang bertuliskan nama Edgar dari dalam blusku yang berwarna hitam.

Edgar…

Aku menggenggam cincin itu erat-erat. Aku bukannya tidak berduka atas kepergianmu yang menggantikan aku. Kau tahu seharusnya akulah yang mati. Bukan kau. Hari ini aku merasa lebih ringan. Perasaan ini muncul begitu bertemu dengan Panji. Perasaan nyaman ini nyata seperti ada kau yang disampingku. Edgar, kau nggak akan mengerti betapa merananya aku setelah kehilangan kau. Rasanya aku juga ingin ikut mati. Well, aku sudah mencobanya. Berusaha untuk mati. Aku sudah menelan banyak sekali obat tidur. Tapi entah kenapa Tuhan seakan tidak menginginkan aku mati saat ini. Tidak sekarang kita bertemu, Edgar. Mungkin suatu saat nanti kita akan berjumpa lagi. Aku mencintaimu. Aku mencium liontin itu lalu memasukkannya lagi kedalam blus hitamku.

Edgar akan selalu menjadi orang yang sangat aku cintai. Aku tahu. Semua orang tahu bahwa aku tidak bisa hidup tanpanya disisiku. Apalagi dengan cara dia pergi untuk menggantikan aku. Tidak termaafkan. Sudah puluhan kali aku mencoba untuk menebus kesalahanku. Tapi lagi-lagi aku terselamatkan. Lagi-lagi ibuku menangisiku. Aku menghela napas. Aku tidak ingin melihat ibuku menangisiku lagi. Aku berjanji. Aku ingin ibuku selalu tersenyum. Selamanya. Aku lebih tidak akan memaafkan diriku jika ibuku terluka dan sedih karena aku.
Aku kembali berkonsentrasi mengendarai RX8-ku yang melaju tersendat diantara hujan. Cuaca dingin sekali. Aku sampai harus menyalakan penghangat, bukan AC lagi. Aku menekan klakson beberapa kali dengan tidak sabar.


“ Oh, ayolah…” erangku panik.

Handphone-ku bergetar dalam tasku. Aku bisa mendengarnya bergetar-getar dengan garang. Aku mengaduk-aduk isi tasku sampai menemukan hape hitamku.

From : Panji
Dimna nenk? Kelas uda dimulai. Mana jnjimu yg akn duduk disbelahku? ;(

Aku mendengus pelan. Lalu membalas SMS-nya dengan cepat. Sudah lama aku tidak seantusias ini dalam menulis SMS.

To : Panji
OTW. Jlnan mcet bgt. Masi ada t4 duduk utkQu?

Aku menunggu balasan dari Panji dengan jantung berdebar tidak tenang. Tidak ingin membayangkan harus duduk jauh dari Panji. Hapeku bergetar hebat lagi.

From : Panji
Aku mulai terbiasa duduk disbelah bangku kosong ;((

Sialan. Dia menyindirku. Tapi aku menjadi lega. Bahwa dia sudah menyediakan tempat disebelahnya. Aneh, aku merasa… senang?

Aku melajukan kencang mobil putihku begitu jalanan tidak lagi padat. Lima menit kemudian aku sudah memarkir mobilku dengan amat disamping mobil X-trail hitam.
Aku segera mengerudungkan topi jaketku lalu turun dari mobil dan berlari menuju kampus dan mencari ruangan 4F, kelasku.

Sial. Aku lelah sekali. Kakiku lemas. Tapi aku tidak boleh menyerah. Aku sudah terlambat dua belas menit. Setidaknya masih dalam waktu tolerir telat maksimal lima belas menit. Sesampainya didepan ruangan 4F, aku berdiri dulu didepan pintu kaca yang tertutup. Mengatur napasku. Kemudian aku melepas jaketku, menyisir rambut dengan jari dan mengetuk pintu. Aku tersenyum semanis mungkin pada dosenku yang saat ini sedang – seperti biasa – perkenalan, aku mengedarkan pandanganku mencari wajah tampan yang duduk disebelah bangku kosong. Tiba-tiba aku tersenyum saat menemukannya sedang duduk dipojok barisan kedua. Aku menghampirinya.

Aku mendengar gumaman-gumaman teman sekelasku yang membicarakan aku – tentu saja dalam pikiran mereka. Tapi aku senang mereka tidak berbicara buruk tentang aku. Justru malah memuji aku. Kata mereka, aku cantik. Well, sudah lama aku tidak disebut cantik.

Cantik.

Aku mendengar suara Panji memujiku dalam pikirannya. Wajahku terasa panas lagi. Kuharap Panji tidak memperhatikan ekspresiku.

“ Darimana saja kau?” Tanya Panji dengan berbisik.

“ Sudah kujelaskan di SMS.” Jawabku pelan. Masih malu karena Panji memujiku. Walaupun bukan dalam kata-katanya.

“ Kau tahu? Kau cantik sekali,” kali ini aku yakin telingaku mendengar suara Panji memujiku.

“ Mmm…trims,” sahutku. Kurasakan wajahku terbakar.

Aku marah pada diriku sendiri. Please, ada apa denganku? Bersikaplah wajar. Yang memujiku hanyalah seorang Panji! Bukan Robert Pattinson atau Prince William!

Tapi justru karena itu Panji.

Pikiranku yang lain menjawab seakan membela adanya Panji.

Hahahaha, Nadine malu karena kupuji?

Aku tiba-tiba mengejang. Sadarlah aku kalau sejak tadi pikiranku ‘disadap’ oleh cowok ganteng disebelahku. Aku mengernyit marah padanya yang sedang menahan tawa.

Berhenti membaca pikiranku!, Aku memarahinya dalam pikiran. Tidak lagi memberi benteng dalam kepalaku.

Wow. Kau benar-benar bisa membaca pikiranku!

AKu tahu Panji sama kagetnya denganku.

Yeah. Dan kau juga dapat membaca pikiranku! Menyebalkan sekali!

Panji membalas ucapanku dalam pikirannya dengan nada getir.

Apa saja yang sudah kau baca?

Aku : Seharusnya aku yang menanyakan hal itu padamu!

Panji : Jangan bocorkan rahasiaku pada yang lain!

Aku : Seharusnya itu yang kukatakan padamu!

Akhirnya kami mengobrol dalam pikiran. Menyebalkan karena aku tidak lagi memiliki privasi bila berada didekatnya. Tapi menyenangkan karena tidak akan dimarahi oleh dosen.
Begitu asyiknya sampai aku tidak mendengar dosen menyebut namaku.

“ Nadine!” teman dibelakangku menepuk bahuku.

Aku tersentak. “ Apa?” sahutku bloon.

“ Dipanggil dosen tuh!”

Aku memandang dosen yang kepalanya setengah botak.

“ Ya, pak?” tanyaku. Linglung.

Dosen menggelengkan kepalanya. “ Jangan melamun!” tegurnya kemudian.

Membaca pikirannya tidak menyenangkan. Dia berpikir, untunglah ini hari pertama kuliah pelajaranku, kalau tidak sudah kumarahi. Sepertinya aku harus berhati-hati kedepannya.

“ Maaf, pak,” ujarku. Malu.

Hahahaha…rasakan…

Aku memelototi Panji.

“ Nadine,” dosen menghela napas lelah menghadapi aku. “ kau berasal darimana?”

“ N – Bandung, pak!” sahutku. Jelas berbohong.

“ Bohong, pak! Dia dari New York!” celetuk salah seorang teman sekelasku. Cowok itu berbadan tinggi, kurus dan berwajah menyebalkan.

Brengsek, aku memaki dalam hati.

Tidak boleh memaki. Walaupun dalam hati.

Aku memelototi Panji lagi.

“ Betul kau dari New York?” Tanya dosen.

“ Betul pak,” sahutku pasrah.

“ Mengapa barusan kau berbohong?” tuntut dosen.

“ Saya tidak berbohong, pak!” aku membela diri. Tidak suka dikatai berbohong. “ Saya memang orang Bandung asli. Hanya saja saya dibesarkan di New York.”

“ Orangtuamu asli dari New York?”

“ Tidak. Dua-duanya bukan. Mereka juga orang Bandung. Hanya saja ayah saya bekerja di…sana.” Melelahkan biacara panjang lebar begini. Menjelaskan darimana saya berasal.

“ Apa pekerjaan ayahmu?”

Lagi-lagi ini.

“ Agen FBI, pak,” aku menjawab dengan enggan.

Pak Dosen manggut-manggut. Aku dengar dalam pikirannya, bahwa ia kagum dengan ayahku.

“ Ayahmu menangani kasus pembunuhan mafia itu?” Tanya dosen itu lagi.

Aku mengejang. Terpaku menatap mata sang dosen yang begitu ingin tahu. Please, kau boleh tanyakan apa saja. Asal bukan yang itu.

“ Er – kurasa tidak,” aku berbohong lagi. Ucapanku terdengar seperti cicit aneh.

Kau kenapa?, Panji menanyaiku dalam pikirannya.

Tidak, jawabku singkat.

Untung sang dosen kembali meneruskan mengabsen.

Hari begitu berjalan lambat. Dua mata kuliah hari ini. Lima SKS. Aku begitu bahagia saat dosen mengucapkan perpisahan sementara. Oh, selamanya pun aku mau. Panji mengikuti aku keluar kelas.

“ Jadi?”

“ Bicara saja dalam kepalamu!” sindirku.

“ Kau marah?” tanyanya.

“ Oh, tidak! Aku ba-ha-gi-a!” kataku dengan penuh penekanan.

“ Kau kenapa, sih?” Tanya Panji tidak mengerti.

Aku membuka mulut untuk kembali menyerang Panji, tepat saat segerombolan cewek teman-teman sekelasku memanggil namaku. Aku dan Panji serempak menoleh.

“ Nadine,” sapa seorang cewek bertubuh gempal dengan rambut tergerai indah. Dia cantik sebenarnya.

“ Ya?” tanyaku pura-pura. Padahal aku sudah membaca pikiran mereka semua. Aku sudah tahu apa yang mereka inginkan dariku. Mereka ingin berteman denganku. Mereka cewek-cewek sosial kelas menengah keatas. Mereka hanya ingin bergaul dengan orang-orang kaya saja. Menjijikkan.

“ Kita belum pernah kenalan,” cewek jangkung, kurus, berkulit sawo matang kusam yang menyahut.

Yeah betul belum pernah kenalan. Baru juga dua hari masuk kuliah.

Seorang cewek berambut pendek dan gemuk, putih dan manis tersenyum padaku. Dan mengulurkan tangannya.

“ Devina,” cewek itu memperkenalkan diri.

Cewek bertubuh gempal yang pertama kali menyapaku bernama Adhilla, cewek kurus dan berwajah kusam bernama Putri. Dan seorang lagi yang bertubuh kurus, setinggi aku, berponi dan berambut lurus sepinggang, kulitnya putih dan cantik. Aku membaca pikirannya. Tidak jauh berbeda dengan yang lainnya. Hanya saja ia berbeda. Namanya Gianny.

“ Kalian pacaran?” Tanya Putri penasaran.

Yang kubaca, ia naksir berat pada Panji.

Aku saling lirik dengan Panji. “ Tidak. Tentu saja tidak!” jawabku cepat.

Kenapa tidak?, Panji menyahut dalam pikirannya.

Karena memang tidak, jawabku.

“ Tapi mengapa kalian terlihat begitu akrab?” Adhilla yang bertanya.

Dasar cewek-cewek ingin tahu urusan orang.

“ Begitukah kelihatannya?” Tanya Panji senang.

“ Tidak!” aku menghardik cepat-cepat sebelum Panji mengutarakan apa yang ia pikirkan. “ Kami baru kenal kemarin. Dan sekarang Panji berusaha beramah tamah denganku. Tentu saja.” Aku tersenyum setengah pada Panji yang memelototiku.

“ Oh,” kata Putri. Jelas kelegaan dalam nadanya.

Aneh, aku merasa tidak suka.

“ Kalian ada acara? Bagaimana jika kita pergi untuk makan siang bersama?” tawar Gianny.

“ Oh, trims banget tawarannya. Aku memang ingin pergi. Tapi – “ bantu aku Panji bodoh.

Tidak. Aku senang dikatakan pacaran denganmu. Mengapa kau tidak?

Aku menggertakan gigi. Jangan bercanda!

“ Panji dan aku tadi disuruh dosen kewiraan menghadapnya diruang dosen!” aku tidak tahu mereka akan percaya atau tidak dengan alasanku yang satu ini.

Kurasa tidak.

Keempatnya mengernyit.

“ Percayalah. Mungkin lain kali,” aku setengah memohon.

Devina menghela napas. “ Sayang sekali.”

Aku tersenyum tulus pada Devina yang juga tulus.

“ Kalau begitu, sampai nanti!” si bodoh Panji membuka mulut sekarang.

“ Iya. Sampai besok, Panji!” Putri menunjukkan senyum yang paling menawan – paling tidak menurutnya – pada Panji. Panji membalasnya hanya dengan senyum sekilas lalu menarik tanganku untuk segera pergi dari situ.

Kami aman didalam mobilku. Sementara paling tidak. Tetap saja pandangan mata masih banyak terarah padaku dan pada Panji dan juga pada mobilku.

“ Jadi?”

“ Berhetilah menanyakan itu, Panji! Kau pikir aku tukang ingkar janji?”

“ Kalau begitu kenapa kita tidak berangkat? Banyak yang ingin kutanyakan padamu, Nadine,”

Aku menatap matanya yang hitam.

“ Jangan menutup pikiranmu padaku!” desisku.

“ Kenapa? Kau juga menutup pikiranmu padaku!” sahutnya enteng.

Aku memutar bola mataku karena kesal. Lalu menyalakan mesin mobil dan beranjak dari parkiran meninggalkan berpasang-pasang mata yang menatap kami.

Kamar kost Panji tidak terlalu besar. Menurutku terlalu sempit. Tapi kelebihannya adalah dengan kamar mandi didalam. Aku memandang mengamati isi kamar Panji.

“ Maaf ya berantakan. Hanya segini yang mampu aku lakukan,” katanya sambil meringis.

“ Tak apa. Lebih baik dari kamar Ed – “ aku langsung mengejang sesaat nama Edgar hampir muncul dihadapan orang yang bahkan baru kukenal dan bisa membaca pikiranku.

“ Ed? Edwin? Edo? Edi?” tebak Panji. Aku memandangnya dengan galak. Tapi dia meneruskan tebakannya. “ Edu? Edan? Edin? Eden? Ed – “

“ Stop, Panji! Aku pulang, nih!” ancamku.

Panji malah tertawa dengan keras. Seakan menikmati kekesalan dalam hatiku. Aku merenggut jengkel. Tapi dengan santainya cowok ganteng itu justru malah merangkulku
dan masuk kedalam kamarnya. Dia menutup pintu kamarnya dengan menendangnya.

“ Yang sopan, dong!” omelku.

Panji mendudukkanku diatas tempat tidurnya. Dia masih merangkulku. Membuat jantungku berdebar. Dan sekuat tenaga aku membentengi pikiranku agar tidak terbaca oleh Panji.

“ Mau minum apa?” Panji melepaskan rangkulannya dengan santai dan menuju meja untuk menuangkan segelas air putih. “ Tapi hanya ada ini,” dia mengacungkan sebotol air mineral.

“ Kalau begitu jangan sok menawarkan!” sahutku judes. Senang akhirnya dia melepaskan rangkulannya.

“ Nih,” Panji menyodorkan segelas air mineral padaku. Aku meneguknya setelah menilik pikirannya dan yakin dia tidak memasukkan obat tidur atau sebangsanya yang dapat membuatku tak sadarkan diri. Lalu dia –

Aku bergidik membayangkannya. Aku yakin Panji bukan cowok seperti itu.

“ Jangan negative thinking tentang aku!” tuntut Panji.

Aku memelototinya, “ Jangan membaca pikiranku!”

“ Kau juga barusan berusaha membaca pikiranku!” Panji tak mau kalah.

Aku memutarkan mata lalu mataku tertuju pada sebuah album foto kecil yang tergeletak disebelah kakiku. Aku memungutnya. Aku meraba sampul album foto berwarna merah pucat itu sebelum membukanya.

“ Jangan!” Panji menyambar album itu dari tanganku.

“ Hei!” pekikku. “ Sopanlah!”

Wajahnya mendadak menjadi muram. “ Maaf.”

Aku mendengus kesal. “ Kau malu aku melihat fotomu waktu bugil?”

Panji mengangkat sebelah alisnya.

“ Waktu kau bayi,” aku menambahkan.

Panji mencibir. Tapi wajah tampan itu tidak terlecehkan sama sekali. Ketampanan yang sempurna. Membuat jantungku berdebar tanpa kusadari.

“ Bilang saja kau ingin melihatku bugil pada saat aku bukan lagi bayi!” senyum jahil menghiasi wajah tampannya. Aku membayangkan, jika kepalanya tidak botak, cowok tengil ini pastilah ganteng sekali. Bahkan lebih dari ganteng sekali.

“ Najis,” sahutku kasar.

Panji menjitak ubun-ubun kepalaku. Kemudian dia menyimpan album itu diatas lemari yang tidak terjangkau olehku yang mungil ini.

Kemudian Panji duduk disampingku dan menatap lantai.

“ Ada yang ingin kau katakan?” tanyaku menebak pikirannya yang gelisah.

Panji Nampak seperti sedang menimang apa yang harus ia katakan.

“ Dalam pikiran juga boleh,” aku melanjutkan.

Panji menghela napas.

“ Sejak kapan kau bisa membaca pikiran?” tanyanya kemudian.

“ Apa itu penting?” tanyaku.

“ Ya,” jawabnya. Panji masih tetap menunduk.

“ Entahlah. Aku tidak tahu pasti kapannya. Yang jelas, aku sudah bisa membaca pikiran sejak balita,” jawabku. Entah mengapa, yang biasanya aku tidak berani memberitahu oranglain tentang rahasiaku ini, justru aku malah dengan lancar menceritakannya pada cowok yang baru saja kukenal.

“ Bagaimana rasanya saat itu?” Tanya Panji lagi. Aku semakin tidak mengerti arah pembicaraan ini. Aku mencoba mendengarkan pikirannya, namun tak terdengar apa-apa. Dia membentenginya. Itu membuatku kesal.

“ Seberapa penting masalah ini untukmu?” tudingku mulai jengkel. “ Memang apa hubungannya denganmu?”

Panji masih menunduk. “ Please, Nadine… tenang dulu. Jawab saja pertanyaanku.”

“ Apa untungnya untukku dengan menjawab semua pertanyaanmu? Sedangkan kau sendiri tidak mengatakan alasannya padaku!”

Panji menggeleng. Namun masih memandang lantai. “ Tidak sekarang. Belum saatnya.”

“ Aku semakin bingung, Panji!”

“ Ayolah Nadine, Please…” rengek Panji.

“ Nggak!” jawabku setengah membentak.

“ Aku akan menjelaskan alasannya saat…saat waktunya tepat,”

“ Waktu yang tepat,” aku tersenyum sinis. “ Kapan? Sepuluh tahun lagi?”

Panji menggeleng lemah. “ Aku tidak yakin waktunya. Tapi pasti. Pasti aku katakan.”

Aku semakin berapi-api. “ Kau aneh, Panji! Kita baru kenal kemarin! Tapi kau bersikap seperti sudah kenal bertahun-tahun denganku saja!” airmataku mulai menggenang. “ Jangan berbicara padaku lagi! Dan jangan mencoba membaca pikiranku lagi!!”

Aku melangkah setengah berlari menuju pintu kamar kost Panji. Lalu aku keluar dari situ dan masuk kedalam mobilku. Kunyalakan mesinnya dan aku tancap gas dari tempat itu. Aku jengkel setengah mati. Aku mengemudi dengan gila-gilaan. Aku tidak tahu akan kemana. Tapi tidak mungkin pulang. Aku tidak ingin ibuku melihat keadaanku kacau begini. Aku baru sadar langit sudah mulai gelap. Dan aku memutuskan untuk pergi ke bukit yang terletak beberapa kilo dari rumahku. Aku memarkirkan mobilku diujung bukin yang mengarahkan pada pemandangan kota yang indah. Kota Bandung. Berbeda sekali ketika aku sedang di New York. Kota itu begitu ramai, padat dan bising. Tidak ada tempat setenang ini. Dengan pemandangan kota yang indah. Lampu-lampu berkelap-kelip disepanjang mata memandang.

Aku menyandarkan kepalaku pada stir mobil. Tanganku mengeluarkan liontin bertuliskan Edgar dan menggenggamnya. Aku melakukan kebiasaan lamaku. Mengadu pada liontin Edgar. Seakan-akan dia akan mendengarkannya saja.

Edgar.

Aku tidak peduli dia akan mendengarkan atau tidak. Aku tetap mencurahkan isi hatiku padanya. Kalau saja saat itu aku saja yang mati. Bukan kau. Apa yang akan kau lakukan sekarang? Bersenang-senang? Atau justru terpuruk sepertiku? Aku merana. Seakan-akan aku tidak memiliki harapan untuk hidup lagi. Aku butuh kau, Edgar. Aku butuh kau yang akan menenangkanku, mendengar keluh kesahku.

Aku sekarang tidak bisa mempercayai siapapun. Aku tidak ingin berteman dengan siapapun. Aku takut. Apa maksud Panji yang seperti menginterogasiku? Maksudnya apa? Dia mencoba membentengi pikirannya dariku. Dia membuatku jengkel, Edgar. Oh, Edgar. Aku ingin memelukmu. Aku ingin kau melindungiku dalam pelukanmu yang hangat.

Hujan mulai menetesi kaca mobilku. Lama-lama semakin lebat. Keadaan kota agak berkabut sekarang. Hujan yang besar namun tidak ada petir yang menyambar. Udara tiba-tiba menjadi dingin. Hidung, tangan dan telapak kakiku menjadi dingin. Tapi dada dan kepalaku terasa panas.

Aku keluar dari mobil. Membiarkan air hujan mengguyurku dan membuat kepalaku dingin dan hatiku juga dingin. Untunglah karena hujan keadaan bukit menjadi sepi. Hanya ada beberapa mobil yang terparkir cukup jauh dariku. Aku ragu apa mereka bisa melihatku dalam kegelapan seperti ini.

Kepalaku terasa pening sekarang. Tapi aku tenang tidak ada suara-suara yang aku dengan dalam pikiranku. Kepalaku makin terasa pusing. Aku ingat janjiku pada ibuku untuk tidak membuatnya menangisiku. Aku harus bersikap seolah tidak ada apa-apa. Meski dadaku bergejolak penuh kemarahan pada Panji Nugraha.

Aku memutuskan untuk masuk kembali kedalam mobil. Tidak peduli kursi mobil akan basah. Aku segera menstarter mobil dan melajukan mobilku menuju rumah.

Aku tiba kerumah dalam beberapa menit. Ibuku segera membawakan payung untukku.

“ Tidak usah, mom,” seruku dibalik berisik suara hujan menimpa bumi. “ Aku sudah basah!”

“ Kenapa kau hujan-hujanan, Nadine?” tanyanya cemas dan marah.

“ Jarak kamar Panji – “ hatiku mencelos begitu nama itu disebut, “ – dengan mobil jauh mom. Jadi aku berlari-lari menembus hujan!” alasanku. Mom merangkulku dibawah payung menuntunku masuk kedalam rumah yang nyaman.

“ Tapi kau kan tidak harus hujan-hujanan, Nadine sayang,” ibuku mengernyitkan dahi seperti tahu aku berbohong. “ kenapa tidak menunggu reda? Apakah Panji – “ lagi-lagi hatiku mencelos mendengar namanya. “ – tidak punya payung?”

“ Aku sanksi anak cowok memiliki payung,” sahutku. Ibuku menyodorkan segelas teh hangat untukku. Aku langsung meneguknya, “ kita tidak tahu kapan hujan akan berhenti. Aku tidak mau membuat kau menunggu terlalu lama, mom.”

“ Oh, Nadine,” ibuku memeluk tubuhku yang basah. “ Sebaiknya sekarang kau ganti baju. Tubuhmu dingin, nak.”

Aku mengangguk lalu beringsut menuju kamarku. Setelah pintu kamar tertutup, aku menguncinya dan menyalakan lampu kamar. Aku mengeluarkan hapeku dari tas. Ada satu SMS dari Panji. Aku mendengus marah dan membacanya.

Mavkan aku, Nadine

Aku melemparkan hapeku keatas kasur. Lalu aku beranjak kekamar mandi. Untuk melunturkan sisa kemarahanku.

Feelings: part 3 - GIANNY

3. Gianny




Jadwal kuliahku hari ini siang. Pukul 1. Dan kini aku masih menggeliat dibawah selimut tebalku dengan nyaman. Tercium olehku bau tanah yang basah. Hujan rupanya diluar sana. Mataku masih terpejam, namun hidungku mengendus udara menikmati ketenangan yang kudapat. Dan hingga akhirnya aku terlelap kembali.

Aku berlari disebuah lorong rumah sakit. Sepi. Tak ada siapapun disini. Aku berlari seorang diri. Terus berlari hingga aku masuk kesebuah ruangan yang temaram. Aku mendengar suara isak tangis. Kulihat ibuku berdiri disamping tempat tidur yang diatasnya ada seseorang terlelap dengan damai. Aku menghampiri tempat tidur tersebut.

Aku terkesiap. Itu aku. Aku tertidur dengan ditangisi oleh ibuku, ayahku, Panji, dan Gianny. Aku heran mengapa bisa ada Gianny disini. Seseorang menepuk bahuku. Aku menoleh cepat karena kaget.

Aku lebih terkejut lagi saat melihat siapa yang menepuk bahuku. Itu Edgar. Dia tersenyum padaku. Senyumnya yang mempesona kini hadir didepan mataku.

“ Ikutlah denganku, Nadine…” suaranya yang lembut seakan menghipnotis.

“ Kemana?” tanyaku linglung.

“ Ketempat dimana kau dan aku dapat terus bersama.”

Sejenak aku ragu. Bimbang. Aku memandangi tubuhku yang tergeletak lemah ditempat tidur rumah sakit. Kupandangi ibuku, ayahku, Panji dan Gianny lalu kutatap wajah malaikat Edgar.

“ Apakah mereka ikut?” tanyaku.

Edgar menggeleng lembut. “ Tidak. Hanya kau dan aku.”

“ Aku tidak bias, Edgar. Aku tidak mungkin meninggalkan mereka.”

Senyum Edgar mengembang lemah. “ Aku mengerti. Selamat tinggal, Nadine. I love you.”

Tiba-tiba mataku terbuka lebar. Aku memandang langit-langit kamarku. Mimpi. Itu hanya mimpi. Napasku memburu. Aku menarik napas untuk mengatur detak jantungku yang berdetak kelewat batas.

Aku mengerang. Kulirik jam yang menempel didinding kamar. Pukul sebelas. Pantas saja mimpiku buruk. Tidak baik anak gadis tidur sampai siang. Aku meregangkan badan kemudian bangkit dari kasur dan bergegas menuju kamar mandi.

Kulihat ibuku sedang menonton infotainment diruang tengah. Wajahnya serius sekali. Kurasa ia tidak menyadari aku menghampirinya. Aku langsung mengecup pipinya dan ia terlonjak kaget.

“ Ya ampun, Nadine…kau membuatku kaget…” Ibuku memandangiku seraya mengelus-elus dadanya.

Aku hanya nyengir kuda. “ Sori, Mom…”

“ Kau tidak kuliah?” Ibuku bertanya dengan nada menuduh.

“ Aku masuk pukul satu. Baru selesai mandi dan aku lapar,” sahutku seraya duduk disamping ibuku.

“ Makanlah. Aku sudah membuatkanmu lasagna.”

“ Wow, lasagna… Aku makan sekarang ya, Mom. Kau mau makan bersamaku?”

“ Baiklah…”

Aku dan Ibuku beranjak dari sofa menuju ruang makan. Aku duduk dikursi makan sementara Ibuku mengeluarkan lasagna dari microwave. Dia memberiku sepotong besar lasagna dan memotong bagiannya juga.

“ Bagaimana hubunganmu dengan Panji?”

Hatiku langsung mencelos begitu nama Panji disebut. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.

“ Baik.”

Ibuku menilik wajahku. Aku terus menghadap lasagnaku agar tidak bertatapan dengannya. Begitulah aku jika sedang ada masalah. Tidak berani bertatapan dengan Ibuku.

“ Wajahmu tidak berkata seperti itu. Ada apa, darling?” aku kadang merasa Ibuku seperti bisa membaca pikiranku.

“ Nothing, Mom.” Sahutku singkat. “ Bisa tidak jangan bahas ini? Kau bisa merusak seluruh sisa hariku hari ini!”

Ibuku mendengus. “ Baiklah… Baiklah.”

Aku buru-buru melahap makananku yang masih panas. Otomatis membuat lidahku terbakar. Tapi aku tak peduli dan berharap cepat pergi dari rumah.

“ Aku berangkat dulu ya, Mom!” aku bangkit lalu menghampiri Ibuku untuk mengecup pipinya.

“ Hati-hati. Kalau ada apa-apa ceritakan padaku,” ujar Ibuku dengan cemas.

“ Iya. Love you, Mom!”

“ Love you too!”

Aku menyambar kunci mobilku yang tergeletak dilemari hiasan milik Ibuku. Lalu segera menuju garasi dan sesegera mungkin cepat berangkat dari situ. Sebenarnya aku juga tidak terlalu berharap tiba dengan cepat ke kampus. Karena itu akan membuatku semakin cepat bertemu dengan Panji.

Hatiku tersentak begitu pikiranku menyebut nama Panji. Amarahku timbul lagi. Pikiranku kembali mengingat kejadian kemarin di kamar kost Panji. Aku kesal karena dia berusaha membuka kembali kenangan buruk yang berusaha aku simpan rapat-rapat.

Kulirik jam tanganku. Baru pukul dua belas lebih tiga. Matahari agak terik bersinar sekarang. Aku memarkirkan mobilku dibawah pohon agar adem. Kemudian aku keluar dari mobil dan berjalan santai masuk kedalam kampus.

Kepalaku mulai berdengung saking banyaknya orang yang sedang berbicara dalam pikirannya. Aku meringis begitu mendengar pikiran yang kotor – berniat untuk meniduri pasangannya. Tapi aku penasaran juga untuk mengetahui kejadian setelah pikiran itu benar-benar terjadi. Hahaha… pikiranku ngawur.

Aku menoleh karena ada seseorang yang akan segera memanggilku.

“ Hai, Nadine!” – benar, kan. Itu Gianny. Dia berlari-lari kecil dengan satu tangan menahan poninya agar tidak berantakan terkena angin.

“ Hai, Gi…” aku membalas sapaannya dan menghentikan langkahku.

Gianny berdiri dihadapanku dengan napas terengah. Lalu ia menyejajariku dan mengajakku melangkah menuju kelas.

“ Mana Panji?” tanyanya.

Oh please…kenapa pertanyaannya itu yang pertama muncul? Kenapa tidak menanyakan pertanyaan lainnya saja? Seperti kabarku, atau yang lainnya.

“ Tidak tahu,” sahutku.

“ Kau bertengkar dengannya, ya?” tanyanya lagi.

” Kelihatannya begitu?” aku balik bertanya.

” Entahlah. Tapi kalian terlihat menjauh. Padahal sebelumnya kalian dekat sekali.”

Oh, miss sok tahu. Aku merasa sedikit tidak suka padanya. Ia seorang gadis tukang gosip yang selalu ingin tahu urusan orang lain. Jenis orang yang tidak kusuka. Aku sanksi apakah aku bisa berteman baik dengannya.

Kami berdua menaiki tangga menuju lantai tiga ruangan kuliah kami hari ini. Selama perjalanan, Gianny mendominasi pembicaraan. Aku hanya menyahut dengan ”Hmmmm”, ”Oh” atau ”Benarkah?”. Malas untukku berbicara panjang lebar.

Akhirnya kami tiba dilantai tiga. Kulihat baru beberapa teman sekelasku yang sudah duduk didepan pintu kelas sambil browsing dengan laptop mereka. Aku menghela napas karena pintu kelas belum dibuka. Itu tandanya aku masih harus mendengarkan Gianny mengoceh.

Aku memandang keluar jendela lorong lantai tiga. Aku kaget melihat kondisi langit yang sudah berubah menjadi abu-abu kelam. Sepertinya akan ada hujan badai. Aku jadi menyesal memarkirkan mobilku dibawah pohon. Bagaimana jika pohonnya ambruk dan menimpa mobilku?

Lima detik kemudian terdengar suara petir menggelegar. Kami semua terlonjak kaget. Dan sedetik kemudian hujan deras mengguyur dengan beberapa kepingan es. Sesaat aku sedikit lega karena pohon yang menaungi mobilku melindunginya dari terpaan hujan es.

” Wuih...seram sekali diluar sana,” Gianny bergumam. ” Semoga mobilmu tidak apa-apa.”

Aku hanya tersenyum kecut. Andai dia bisa mendengar pikiranku, mungkin dia sudah bungkam daritadi. Aku menghela napas, duduk dilantai dekat jendela dengan menyandarkan punggungku pada dinding dan menyandarkan juga kepalaku. Jika sedang keadaan hujan seperti ini aku jadi teringat Edgar. Teringat mimpi tadi pagi. Mimpi dimana Edgar mengajakku pergi. Aku jadi bertanya-tanya, apa yang terjadi jika aku mengikuti ajakan Edgar. Akankah aku masih disini? Atau aku sudah mati?

Aku merinding membayangkan tubuhku terbujur kaku ditutupi kain kafan. Mom menangis disebelah tubuhku yang kaku, Dad berusaha terlihat tegar dengan menenangkan Mom. Tidak. Mati selalu ada didaftarku yang paling bawah. Aku belum mau mati. Aku belum siap mati. Tapi jika aku mati, akankah para mafia itu berhenti mengejar keluargaku? Jika jawabannya adalah ya, aku rela mati untuk melindungi keluargaku. Tapi jika jawabannya adalah tidak, aku yang akan membunuh mereka. Aku tersenyum kecut.

” Nadine? Jangan melamun! Nanti kesambet setan, lho!” cerocos Gianny.

Ya, dan kamu adalah setannya. Aku tersenyum kecil padanya.

Jika dia setan lalu kau apa?

Suara Panji terdengar dikepalaku. Spontan mataku beralih pada sumber suara. Panji sudah berdiri beberapa meter didepanku dengan rambutnya yang lepek karena basah oleh hujan dan pakaiannya yang basah kuyup. Menatapku dengan tatapan geli. Dia tahu aku jengkel setengah mati karena tidak dibiarkan sendiri oleh Gianny. Aku langsung mengalihkan pandanganku darinya.

Kau masih marah, ya?

Aku diam. Tak menjawab. Berusaha menutup pikiranku agar tak bisa dibaca atau didengarnya.

Maafkan aku. Kumohon.

Aku masih bungkam. Tidak berminat menanggapinya.

” Dine, Panji melihat kearahmu terus,” bisik Gianny.

” Aku tahu,” sahutku pendek.

” Maukah kau memaafkan dia?” tanya Gianny – lagi-lagi mencampuri urusanku.

” Tidak.” sahutku mantap.

Gianny menggeleng yakin. Dia mengguncang bahuku kencang. ” Kau harus memaafkan dia dan berteman lagi dengannya, Nadine. Nyawamu sedang dalam bahaya. Para pria berbaju dan bertopi hitam itu sedang mencarimu. Dan kurasa Panji tahu jalan keluar dari masalahmu itu!”

Aku tercenung menatap Giannya. Aku bingung. Darimana dia tahu tentang black hat yang sedang mengejarku? Lalu mengapa dia bilang bahwa Panji mengetahui jalan keluarnya? Aku yakin sekali tidak pernah membocorkan rahasiaku ini pada siapapun.

” Aku tahu, Nadine. Aku bisa melihat masa depan, masa lalu dan makhluk-makhluk yang tak bisa dilihat manusia biasa,” Gianny berusaha menjelaskan karena melihat ekspresi bingungku. ” Aku tahu masa lalumu dan juga masa depanmu, Nadine. Aku juga bisa melihat makhluk gaib yang mengelilingimu.”

Bulu kudukku meremang. Aku jadi takut pada gadis ini. Siapakah sebenarnya dia? Atau apakah dia ini? Aku ngeri jika ternyata Gianny bukan manusia. Tapi agak tenang juga jiwa dia adalah seorang cenayang.

” Apa maksud omonganmu tadi?” akhirnya aku kuasa mengeluarkan suara.

” Yang mana?” tanyanya.

” Semuanya.”

” Yeah, Nadine. Tolong jangan bocorkan rahasiaku ini pada orang lain. Maukah kau berjanji?”

” Ya, tentu.”

Gianny menarik napas panjang lalu mulai berbicara ketika petir menggelegar lagi. Kali ini hanya tinggal air yang turun dari langit. ” Aku mempunyai kemampuan melihat masa lalu, masa depan dan makhluk gaib. Kemampuanku ini didapati turun temurun dikeluargaku. Tapi ingat, aku ini berada dalam ilmu putih. Bukan ilmu hitam.” ia menjelaskan asal usul ilmunya dengan mimik serius. ” Aku tahu masa lalumu yang menyebabkan kau kehilangan orang yang kau sayangi. Aku tahu ada yang sedang mengejarmu karena menginginkan sesuatu darimu. Dapat kau jelaskan apa yang mereka inginkan?”

Aku menilik wajahnya. Berusaha membaca pikirannya. Tetapi aku tidak dapat menembus pikirannya. Dia bukan orang biasa. Aku menatap lekat-lekat matanya mencari-cari kalau dia itu bisa dipercaya.

” Aku bisa membaca pikiran,” kataku akhirnya. Kurasa aku dapat memercayainya. ” Komplotan mafia bernama Black Hat itu menginginkanku untuk membantu mereka. Aku diharapkan dapat membantu mereka mengalahkan pesaing-pesaing mereka.” bukannya merasa enggan dan marah, aku justru merasa lega ada yang dapat ku bagi dengan kisahku. Perasaanku menjadi agak sedikit lebih ringan.

Gianny mengangguk-angguk mengerti ceritaku.

” Hei, lalu apa hubungannya Panji dengan semua masalahku?” tanyaku.

” Bukan masalahmu. Tapi sekarang ini jadi masalah kita,” ralatnya.

Aku terbelalak kaget. Ini yang aku khawatirkan. Dimana saat orang-orang disekelilingku melibatkan diri dengan masalahku.

” Tidak! Tidak!” aku menggeleng kuat-kuat. ” Jangan melibatkan dirimu, Gianny! Kau bahkan tak ada hubungannya dengan masalahku!”

Gianny menghela napas berat. ” Ada. Tentu saja ada.”

Aku mengernyitkan kening tidak mengerti.

” Aku tunangan Edgar, Nadine.”

Jumat, 10 Juli 2009

Lirik Tears-Vierra

would you stop all the lines
comin out from your mouth
isn’t my stories not enough
to much lies for me
so please forgive me

your car my house our phones
where all the memories lies

all the tears that aren’t wasted
all the anger that exploded
all the things that we’ve been through
wouldn’t pay a thing if we end this

your car my house our phones
where all the memories lies
all the tears that aren’t wasted
all the anger that exploded
all the things that we’ve been through
wouldn’t pay a thing if we end this
this is just the half part
half part of my lyrics
all the tears that aren’t wasted
all the anger that exploded
all the things that we’ve been through
wouldn’t pay a thing if we end this

Kamis, 09 April 2009

Happy birthday to me...

Today is my birthdate...
aku seneng bgt hri ini...

Semalem Panji,Chcha,Al,Sammy,Archie dateng kerumah jam 12 mereka ngasi surprise ke aku...
ya ampun bahagianya...
Panji ngasih ku bungkusan kecil yang isinya sebuah kalung berbandul dua cincin...so sweet...
Chacha ngasii aku sepasang sepatu sendal..lucu deh...

terus mereka juga ngasii aku kue tart coklat yang manis dan enak bgt!!!
tapi ternyata orangtuaku juga berperan dalam surprise ini...uuuhhh...aku sayang banget sama mereka... ^^

i love them...

April 10th,2009

Jumat, 13 Maret 2009

ikutan quuenbeehunt

aku ikutan acara yang diadain sunsilk...acara queenbeehunt...
semua temen-temen diharapkan dukung aku iia...
luv u luv u to all

Selasa, 03 Maret 2009

Pengen travelling ke Bali

KYAAAAAAAA PENGEN BERLIBUR KE BALI!!!!!!!