Jumat, 16 Januari 2009

FEELINGS PART 2

2. Panji Nugraha




Hari esok rasanya datang cepat sekali. Sehingga aku tidak sadar kalau aku sudah tertidur lama sekali. Hampir lima belas jam! Dengan semangat yang tidak aku mengerti aku pergi kekamar mandi. Lalu dengan semangat yang tidak kumengerti juga, aku mencari pakaian terbaikku – lalu aku sadar, pakaianku sudah lama semua, kemudian aku berdandan. Bukan dandanku seperti kemarin. Tapi benar-benar berdandan. Memakai pelembab, bedak, lipgloss oranye dan parfum!
Aku memandang pantulan wajahku dicermin. Kemudian aku mengernyitkan dahi sambil berpikir. Aku dandan untuk apa? Untuk siapa? Semangatku sudah lenyap saat selongsong peluru menembus dada orang yang sangat kucintai. Cahayaku sudah padam satu setengah tahun yang lalu. Ada apa denganku? Aku kembali berpikir. Wajah Panji yang ceria dan ganteng sekali itu terlintas dibenakku.
Panjikah yang membuatku seperti ini?
Tidak mungkin. Bahkan aku baru saja mengenalnya. Baru satu hari. Well, tidak genap satu hari sih. Kurang lebih seperti itulah.
Aku mendengar suara pintu dibuka. Ibuku. Tentu saja. Siapa lagi?
Ibuku juga mengernyit sambil mencium bau diudara. “ Kau pakai parfum?”
“ Mmmm…” sungguh, aku malu sekali.
Tapi ibuku tersenyum penuh sayang padaku. Aku mendengar pikirannya bahwa ia senang aku kembali normal. Tidak terpuruk seperti sebelumnya. Ibuku masuk menghampiriku. Kemudian memelukku dan mengecup pipiku.
“ Putriku memang cantik,” pujinya.
Bisa kurasakan pipiku panas dan pasti merona merah.
“ Yaiyalah…” sambung ibuku lagi. “ Ibunya juga cantik, pasti anaknya juga cantik!” candanya seraya nyengir padaku.
Mau tak mau aku pun ikut nyengir. “ Ah, mom…kau bisa saja menghibur diri sendiri,” aku balas candaannya.
“ Tapi sayang sekali cuaca tidak secerah hatimu,” kata ibuku sambil menatap air hujan yang turun dibalik jendela dengan penuh sesal.
“ Aku lebih suka begini,” sahutku. Ibuku menatapku heran. “ Aku suka harum tanah yang basah oleh hujan. Cuacanya juga. Walaupun dingin, tapi cuaca seperti ini menentramkan hatiku.”
“ Hmmm…Kurasa aku juga suka hujan,” timpal ibuku. “ Aku tidak perlu repot-repot menyiram bunga-bungaku!”
Aku tersenyum pada ibuku. Dan ibuku membalasnya juga.
“ Kau kuliah jam berapa?” tanyanya kemudian.
“ Jam tujuh lima puluh,” jawabku. “ Sekarang jam berapa?”
“ Tujuh tiga puluh,” jawaban ibuku membuatku melompat berdiri dari kursi riasku. “ Aku bias terlambat!”
“ Pakai jaketmu, darling,” mom mengingatkanku.
Aku menyambar jaket abu-abu yang sudah kusiapkan di atas tempat tidur. Aku mengecup ibuku lalu setengah berlari keluar kamar menuju garasi dimana mobilku terparkir.
“ I love you mom!” aku berteriak pada ibuku yang melepas kepergianku dari teras.
“ I love you, too!” balas ibuku. “ Jangan hujan-hujanan!”
“ Aku pulang agak telat,” aku mengingatkan ibuku atas rencanaku mampir ke tempat kost Panji.
“ Jangan terlalu malam!” ibuku member ultimatum.
“ Jangan khawatir!” seruku sebelum menutup pintu mobil dan menekan pedal gasku.
Hari ini berbeda dengan hari kemarin. Kemarin aku malas sekali datang sebelum jam kuliah dimulai. Namun hari ini aku tidak ingin dating terlambat. Mungkin aku akan sangat kecewa jika tempat duduk disebelah Panji sudah diduduki orang lain.
Aku mengeluarkan liontin yang bertuliskan nama Edgar dari dalam blusku yang berwarna hitam.
Edgar…
Aku menggenggam cincin itu erat-erat. Aku bukannya tidak berduka atas kepergianmu yang menggantikan aku. Kau tahu seharusnya akulah yang mati. Bukan kau. Hari ini aku merasa lebih ringan. Perasaan ini muncul begitu bertemu dengan Panji. Perasaan nyaman ini nyata seperti ada kau yang disampingku. Edgar, kau nggak akan mengerti betapa merananya aku setelah kehilangan kau. Rasanya aku juga ingin ikut mati. Well, aku sudah mencobanya. Berusaha untuk mati. Aku sudah menelan banyak sekali obat tidur. Tapi entah kenapa Tuhan seakan tidak menginginkan aku mati saat ini. Tidak sekarang kita bertemu, Edgar. Mungkin suatu saat nanti kita akan berjumpa lagi. Aku mencintaimu.
Aku mencium liontin itu lalu memasukkannya lagi kedalam blus hitamku.
Edgar akan selalu menjadi orang yang sangat aku cintai. Aku tahu. Semua orang tahu bahwa aku tidak bisa hidup tanpanya disisiku. Apalagi dengan cara dia pergi untuk menggantikan aku. Tidak termaafkan. Sudah puluhan kali aku mencoba untuk menebus kesalahanku. Tapi lagi-lagi aku terselamatkan. Lagi-lagi ibuku menangisiku.
Aku menghela napas. Aku tidak ingin melihat ibuku menangisiku lagi. Aku berjanji. Aku ingin ibuku selalu tersenyum. Selamanya. Aku lebih tidak akan memaafkan diriku jika ibuku terluka dan sedih karena aku.
Aku kembali berkonsentrasi mengendarai RX6-ku yang melaju tersendat diantara hujan. Cuaca dingin sekali. Aku sampai harus menyalakan penghangat, bukan AC lagi. Aku menekan klakson beberapa kali dengan tidak sabar.
“ Oh, ayolah…” erangku panik.
Handphone-ku bergetar dalam tasku. Aku bisa mendengarnya bergetar-getar dengan garang. Aku mengaduk-aduk isi tasku sampai menemukan hape hitamku.
From : Panji
Dimna nenk? Kelas uda dimulai. Mana jnjimu yg akn duduk disbelahku? ;(

Aku mendengus pelan. Lalu membalas SMS-nya dengan cepat. Sudah lama aku tidak seantusias ini dalam menulis SMS.
To : Panji
OTW. Jlnan mcet bgt. Masi ada t4 duduk utkQu?

Aku menunggu balasan dari Panji dengan jantung berdebar tidak tenang. Tidak ingin membayangkan harus duduk jauh dari Panji. Hapeku bergetar hebat lagi.
From : Panji
Aku mulai terbiasa duduk disbelah bangku kosong ;((

Sialan. Dia menyindirku. Tapi aku menjadi lega. Bahwa dia sudah menyediakan tempat disebelahnya. Aneh, aku merasa… senang?
Aku melajukan kencang mobil silverku begitu jalanan tidak lagi padat. Lima menit kemudian aku sudah memarkir mobilku dengan amat disamping mobil X-trail hitam.
Aku segera mengerudungkan topi jaketku lalu turun dari mobil dan berlari menuju kampus dan mencari ruangan 4F, kelasku.
Sial. Aku lelah sekali. Kakiku lemas. Tapi aku tidak boleh menyerah. Aku sudah terlambat dua belas menit. Setidaknya masih dalam waktu tolerir telat maksimal lima belas menit. Sesampainya didepan ruangan 4F, aku berdiri dulu didepan pintu kaca yang tertutup. Mengatur napasku. Kemudian aku melepas jaketku, menyisir rambut dengan jari dan mengetuk pintu. Aku tersenyum semanis mungkin pada dosenku yang saat ini sedang – seperti biasa – perkenalan, aku mengedarkan pandanganku mencari wajah tampan yang duduk disebelah bangku kosong. Tiba-tiba aku tersenyum saat menemukannya sedang duduk dipojok barisan kedua. Aku menghampirinya.
Aku mendengar gumamman-gumamman teman sekelasku yang membicarakan aku – tentu saja dalam pikiran mereka. Tapi aku senang mereka tidak berbicara buruk tentang aku. Justru malah memuji aku. Kata mereka, aku cantik. Well, sudah lama aku tidak disebut cantik.
Cantik.
Aku mendengar suara Panji memujiku dalam pikirannya. Wajahku terasa panas lagi. Kuharap Panji tidak memperhatikan ekspresiku.
“ Darimana saja kau?” Tanya Panji dengan berbisik.
“ Sudah kujelaskan di SMS.” Jawabku pelan. Masih malu karena Panji memujiku. Walaupun bukan dalam kata-katanya.
“ Kau tahu? Kau cantik sekali,” kali ini aku yakin telingaku mendengar suara Panji memujiku.
“ Mmm…trims,” sahutku. Kurasakan wajahku terbakar.
Aku marah pada diriku sendiri. Please, ada apa denganku? Bersikaplah wajar. Yang memujiku hanyalah seorang Panji! Bukan Robert Pattinson atau Prince William!
Tapi justru karena itu Panji.
Pikiranku yang lain menjawab seakan membela adanya Panji.
Hahahaha, Nadine malu karena kupuji?
Aku tiba-tiba mengejang. Sadarlah aku kalau sejak tadi pikiranku ‘disadap’ oleh cowok ganteng disebelahku. Aku mengernyit marah padanya yang sedang menahan tawa.
Berhenti membaca pikiranku!
Aku memarahinya dalam pikiran. Tidak lagi member benteng dalam kepalaku.
Wow. Kau benar-benar bisa membaca pikiranku!
AKu tahu Panji sama kagetnya denganku.
Yeah. Dan kau juga dapat membaca pikiranku! Menyebalkan sekali!
Panji membalas ucapanku dalam pikirannya dengan nada getir.
Apa saja yang sudah kau baca?
Aku : Seharusnya aku yang menanyakan hal itu padamu!
Panji : Jangan bocorkan rahasiaku pada yang lain!
Aku : Seharusnya itu yang kukatakan padamu!
Akhirnya kami mengobrol dalam pikiran. Menyebalkan karena aku tidak lagi memiliki privasi bila berada didekatnya. Tapi menyenangkan karena tidak akan dimarahi oleh dosen.
Begitu asyiknya sampai aku tidak mendengar dosen menyebut namaku.
“ Nadine!” teman dibelakangku menepuk bahuku.
Aku tersentak. “ Apa?” sahutku bloon.
“ Dipanggil dosen tuh!”
Aku memandang dosen yang kepalanya setengah botak.
“ Ya, pak?” tanyaku. Linglung.
Dosen menggelengkan kepalanya. “ Jangan melamun!” tegurnya kemudian.
Membaca pikirannya tidak menyenangkan. Dia berpikir, untunglah ini hari pertama kuliah pelajaranku, kalau tidak sudah kumarahi. Sepertinya aku harus berhati-hati kedepannya.
“ Maaf, pak,” ujarku. Malu.
Hahahaha…rasakan…
Aku memelototi Panji.
“ Nadine,” dosen menghela napas lelah menghadapi aku. “ kau berasal darimana?”
“ N – Bandung, pak!” sahutku. Jelas berbohong.
“ Bohong, pak! Dia dari New York!” celetuk salah seorang teman sekelasku. Cowok itu berbadan tinggi, kurus dan berwajah menyebalkan.
Brengsek.
Aku memaki dalam hati.
Tidak boleh memaki. Walaupun dalam hati.
Aku memelototi Panji lagi.
“ Betul kau dari New York?” Tanya dosen.
“ Betul pak,” sahutku pasrah.
“ Mengapa barusan kau berbohong?” tuntut dosen.
“ Saya tidak berbohong, pak!” aku membela diri. Tidak suka dikatai berbohong. “ Saya memang orang Bandung asli. Hanya saja saya dibesarkan di New York.”
“ Orangtuamu asli dari New York?”
“ Tidak. Dua-duanya bukan. Mereka juga orang Bandung. Hanya saja ayah saya bekerja di…sana.” Melelahkan biacara panjang lebar begini. Menjelaskan darimana saya berasal.
“ Apa pekerjaan ayahmu?”
Lagi-lagi ini.
“ Agen FBI, pak,” aku menjawab dengan enggan.
Pak Dosen manggut-manggut. Aku dengar dalam pikirannya, bahwa ia kagum dengan ayahku.
“ Ayahmu menangani kasus pembunuhan mafia itu?” Tanya dosen itu lagi.
Aku mengejang. Terpaku menatap mata sang dosen yang begitu ingin tahu. Please, kau boleh tanyakan apa saja. Asal bukan yang itu.
“ Er – kurasa tidak,” aku berbohong lagi. Ucapanku terdengar seperti cicit aneh.
Kau kenapa?, Panji menanyaiku dalam pikirannya.
Tidak, jawabku singkat.
Untung sang dosen kembali meneruskan mengabsen.

Hari begitu berjalan lambat. Dua mata kuliah hari ini. Lima SKS. Aku begitu bahagia saat dosen mengucapkan perpisahan sementara. Oh, selamanya pun aku mau. Panji mengikuti aku keluar kelas.
“ Jadi?”
“ Bicara saja dalam kepalamu!” sindirku.
“ Kau marah?” tanyanya.
“ Oh, tidak! Aku ba-ha-gi-a!” kataku dengan penuh penekanan.
“ Kau kenapa, sih?” Tanya Panji tidak mengerti.
Aku membuka mulut untuk kembali menyerang Panji, tepat saat segerombolan cewek teman-teman sekelasku memanggil namaku. Aku dan Panji serempak menoleh.
“ Nadine,” sapa seorang cewek bertubuh gempal dengan rambut tergerai indah. Dia cantik sebenarnya.
“ Ya?” tanyaku pura-pura. Padahal aku sudah membaca pikiran mereka semua. Aku sudah tahu apa yang mereka inginkan dariku. Mereka ingin berteman denganku. Mereka cewek-cewek social kelas menengah keatas. Mereka hanya ingin bergaul dengan orang-orang kaya saja. Menjijikkan.
“ Kita belum pernah kenalan,” cewek jangkung, kurus, berkulit sawo matang kusam yang menyahut.
Yeah betul belum pernah kenalan. Baru juga dua hari masuk kuliah.
Seorang cewek berambut pendek dan gemuk, putih dan manis tersenyum padaku. Dan mengulurkan tangannya.
“ Devina,” cewek itu memperkenalkan diri.
Cewek bertubuh gempal yang pertama kali menyapaku bernama Adhilla, cewek kurus dan berwajah kusam bernama Putri. Dan seorang lagi yang bertubuh kurus, setinggi aku, berponi dan berambut lurus sepinggang, kulitnya putih dan cantik. Aku membaca pikirannya. Tidak jauh berbeda dengan yang lainnya. Hanya saja ia berbeda. Namanya Gianny.
“ Kalian pacaran?” Tanya Putri penasaran.
Yang kubaca, ia naksir berat pada Panji.
Aku saling lirik dengan Panji. “ Tidak. Tentu saja tidak!” jawabku cepat.
Kenapa tidak?, Panji menyahut dalam pikirannya.
Karena memang tidak, jawabku.
“ Tapi mengapa kalian terlihat begitu akrab?” Adhilla yang bertanya.
Dasar cewek-cewek ingin tahu urusan orang.
“ Begitukah kelihatannya?” Tanya Panji senang.
“ Tidak!” aku menghardik cepat-cepat sebelum Panji mengutarakan apa yang ia pikirkan. “ Kami baru kenal kemarin. Dan sekarang Panji berusaha beramah tamah denganku. Tentu saja.” Aku tersenyum setengah pada Panji yang memelototiku.
“ Oh,” kata Putri. Jelas kelegaan dalam nadanya.
Aneh, aku merasa tidak suka.
“ Kalian ada acara? Bagaimana jika kita pergi untuk makan siang bersama?” tawar Gianny.
“ Oh, trims banget tawarannya. Aku memang ingin pergi. Tapi – “ bantu aku Panji bodoh.
Tidak. Aku senang dikatakan pacaran denganmu. Mengapa kau tidak?
Aku menggertakan gigi. Jangan bercanda!
“ Panji dan aku tadi disuruh dosen kewiraan menghadapnya diruang dosen!” aku tidak tahu mereka akan percaya atau tidak dengan alasanku yang satu ini.
Kurasa tidak.
Keempatnya mengernyit.
“ Percayalah. Mungkin lain kali,” aku setengah memohon.
Devina menghela napas. “ Sayang sekali.”
Aku tersenyum tulus pada Devina yang juga tulus.
“ Kalau begitu, sampai nanti!” si bodoh Panji membuka mulut sekarang.
“ Iya. Sampai besok, Panji!” Putri menunjukkan senyum yang paling menawan – paling tidak menurutnya – pada Panji. Panji membalasnya hanya dengan senyum sekilas lalu menarik tanganku untuk segera pergi dari situ.
Kami aman didalam mobilku. Sementara paling tidak. Tetap saja pandangan mata masih banyak terarah padaku dan pada Panji dan juga pada mobilku.
“ Jadi?”
“ Berhetilah menanyakan itu, Panji! Kau pikir aku tukang ingkar janji?”
“ Kalau begitu kenapa kita tidak berangkat? Banyak yang ingin kutanyakan padamu, Nadine,”
Aku menatap matanya yang hitam.
“ Jangan menutup pikiranmu padaku!” desisku.
“ Kenapa? Kau juga menutup pikiranmu padaku!” sahutnya enteng.
Aku memutar bola mataku karena kesal. Lalu menyalakan mesin mobil dan beranjak dari parkiran meninggalkan berpasang-pasang mata yang menatap kami.
Kamar kost Panji tidak terlalu besar. Menurutku terlalu sempit. Tapi kelebihannya adalah dengan kamar mandi didalam. Aku memandang mengamati isi kamar Panji.
“ Maaf ya berantakan. Hanya segini yang mampu aku lakukan,” katanya sambil meringis.
“ Tak apa. Lebih baik dari kamar Ed – “ aku langsung mengejang sesaat nama Edgar hampir muncul dihadapan orang yang bahkan baru kukenal dan bisa membaca pikiranku.
“ Ed? Edwin? Edo? Edi?” tebak Panji. Aku memandangnya dengan galak. Tapi dia meneruskan tebakannya. “ Edu? Edan? Edin? Eden? Ed – “
“ Stop, Panji! Aku pulang, nih!” ancamku.
Panji malah tertawa dengan keras. Seakan menikmati kekesalan dalam hatiku.
Aku merenggut jengkel. Tapi dengan santainya cowok ganteng itu justru malah merangkulku dan masuk kedalam kamarnya. Dia menutup pintu kamarnya dengan menendangnya.
“ Yang sopan, dong!” omelku.
Panji mendudukkanku diatas tempat tidurnya. Dia masih merangkulku. Membuat jantungku berdebar. Dan sekuat tenaga aku membentengi pikiranku agar tidak terbaca oleh Panji.
“ Mau minum apa?” Panji melepaskan rangkulannya dengan santai dan menuju meja untuk menuangkan segelas air putih. “ Tapi hanya ada ini,” dia mengacungkan sebotol air mineral.
“ Kalau begitu jangan sok menawarkan!” sahutku judes. Senang akhirnya dia melepaskan rangkulannya.
“ Nih,” Panji menyodorkan segelas air mineral padaku. Aku meneguknya setelah menilik pikirannya dan yakin dia tidak memasukkan obat tidur atau sebangsanya yang dapat membuatku tak sadarkan diri. Lalu dia –
Aku bergidik membayangkannya. Aku yakin Panji bukan cowok seperti itu.
“ Jangan negative thinking tentang aku!” tuntut Panji.
Aku memelototinya, “ Jangan membaca pikiranku!”
“ Kau juga barusan berusaha membaca pikiranku!” Panji tak mau kalah.
Aku memutarkan mata lalu mataku tertuju pada sebuah album foto kecil yang tergeletak disebelah kakiku. Aku memungutnya. Aku meraba sampul album foto berwarna merah pucat itu sebelum membukanya.
“ Jangan!” Panji menyambar album itu dari tanganku.
“ Hei!” pekikku. “ Sopanlah!”
Wajahnya mendadak menjadi muram. “ Maaf.”
Aku mendengus kesal. “ Kau malu aku melihat fotomu waktu bugil?”
Panji mengangkat sebelah alisnya.
“ Waktu kau bayi,” aku menambahkan.
Panji mencibir. Tapi wajah tampan itu tidak terlecehkan sama sekali. Ketampanan yang sempurna. Membuat jantungku berdebar tanpa kusadari.
“ Bilang saja kau ingin melihatku bugil pada saat aku bukan lagi bayi!” senyum jahil menghiasi wajah tampannya. Aku membayangkan, jika kepalanya tidak botak, cowok tengil ini pastilah ganteng sekali. Bahkan lebih dari ganteng sekali.
“ Najis,” sahutku kasar.
Panji menjitak ubun-ubun kepalaku. Kemudian dia menyimpan album itu diatas lemari yang tidak terjangkau olehku yang mungil ini.
Kemudian Panji duduk disampingku dan menatap lantai.
“ Ada yang ingin kau katakan?” tanyaku menebak pikirannya yang gelisah.
Panji Nampak seperti sedang menimang apa yang harus ia katakan.
“ Dalam pikiran juga boleh,” aku melanjutkan.
Panji menghela napas.
“ Sejak kapan kau bisa membaca pikiran?” tanyanya kemudian.
“ Apa itu penting?” tanyaku.
“ Ya,” jawabnya. Panji masih tetap menunduk.
“ Entahlah. Aku tidak tahu pasti kapannya. Yang jelas, aku sudah bisa membaca pikiran sejak balita,” jawabku. Entah mengapa, yang biasanya aku tidak berani memberitahu oranglain tentang rahasiaku ini, justru aku malah dengan lancar menceritakannya pada cowok yang baru saja kukenal.
“ Bagaimana rasanya saat itu?” Tanya Panji lagi. Aku semakin tidak mengerti arah pembicaraan ini. Aku mencoba mendengarkan pikirannya, namun tak terdengar apa-apa. Dia membentenginya. Itu membuatku kesal.
“ Seberapa penting masalah ini untukmu?” tudingku mulai jengkel. “ Memang apa hubungannya denganmu?”
Panji masih menunduk. “ Please, Nadine… tenang dulu. Jawab saja pertanyaanku.”
“ Apa untungnya untukku dengan menjawab semua pertanyaanmu? Sedangkan kau sendiri tidak mengatakan alasannya padaku!”
Panji menggeleng. Namun masih memandang lantai. “ Tidak sekarang. Belum saatnya.”
“ Aku semakin bingung, Panji!”
“ Ayolah Nadine, Please…” rengek Panji.
“ Nggak!” jawabku setengah membentak.
“ Aku akan menjelaskan alasannya saat…saat waktunya tepat,”
“ Waktu yang tepat,” aku tersenyum sinis. “ Kapan? Sepuluh tahun lagi?”
Panji menggeleng lemah. “ Aku tidak yakin waktunya. Tapi pasti. Pasti aku katakan.”
Aku semakin berapi-api. “ Kau aneh, Panji! Kita baru kenal kemarin! Tapi kau bersikap sudah kenal bertahun-tahun denganku saja!” airmataku mulai menggenang. “ Jangan berbicara padaku lagi! Dan jangan mencoba membaca pikiranku lagi!!”
Aku melangkah setengah berlari menuju pintu kamar kost Panji. Lalu aku keluar dari situ dan masuk kedalam mobilku. Kunyalakan mesinnya dan aku tancap gas dari tempat itu.
Aku jengkel setengah mati. Aku mengemudi dengan gila-gilaan. Aku tidak tahu akan kemana. Tapi tidak mungkin pulang. Aku tidak ingin ibuku melihat keadaanku kacau begini. Aku baru sadar langit sudah mulai gelap. Dan aku memutuskan untuk pergi ke bukit yang terletak beberapa kilo dari rumahku. Aku memarkirkan mobilku diujung bukin yang mengarahkan pada pemandangan kota yang indah. Kota Bandung. Berbeda sekali ketika aku sedang di New York. Kota itu begitu ramai, padat dan bising. Tidak ada tempat setenang ini. Dengan pemandangan kota yang indah. Lampu-lampu berkelap-kelip disepanjang mata memandang.
Aku menyandarkan kepalaku pada stir mobil. Tanganku mengeluarkan liontin bertuliskan Edgar dan menggenggamnya. Aku melakukan kebiasaan baruku. Mengadu pada liontin Edgar. Seakan-akan dia akan mendengarkannya saja.
Edgar.
Aku tidak peduli dia akan mendengarkan atau tidak. Aku tetap mencurahkan isi hatiku padanya.
Kalau saja saat itu aku saja yang mati. Bukan kau. Apa yang akan kau lakukan sekarang? Bersenang-senang? Atau justru terpuruk sepertiku? Aku merana. Seakan-akan aku tidak memiliki harapan untuk hidup lagi. Aku butuh kau, Edgar. Aku butuh kau yang akan menenangkanku, mendengar keluh kesahku.
Aku sekarang tidak bisa mempercayai siapapun. Aku tidak ingin berteman dengan siapapun. Aku takut. Apa maksud Panji yang seperti menginterogasiku? Maksudnya apa? Dia mencoba membentengi pikirannya dariku. Dia membuatku jengkel, Edgar. Oh, Edgar. Aku ingin memelukmu. Aku ingin kau melindungiku dalam pelukanmu yang hangat.
Hujan mulai menetesi kaca mobilku. Lama-lama semakin lebat. Keadaan kota agak berkabut sekarang. Hujan yang besar namun tidak ada petir yang menyambar. Udara tiba-tiba menjadi dingin. Hidungkun, tangan dan telapak kakiku menjadi dingin. Tapi dada dan kepalaku terasa panas.
Aku keluar dari mobil. Membiarkan air hujan mengguyurku dan membuat kepalaku dingin dan hatiku juga dingin. Untunglah karena hujan keadaan bukit menjadi sepi. Hanya ada beberapa mobil yang terparkir cukup jauh dariku. Aku ragu apa mereka bisa melihatku dalam kegelapan seperti ini.
Kepalaku terasa pening sekarang. Tapi aku tenang tidak ada suara-suara yang aku dengan dalam pikiranku. Aku senang.
Kepalaku makin terasa pusing. Aku ingat janjiku pada ibuku untuk tidak membuatnya menangisiku. Aku harus bersikap seolah tidak ada apa-apa. Meski dadaku bergejolak penuh kemarahan pada Panji Nugraha.
Aku memutuskan untuk masuk kembali kedalam mobil. Tidak peduli kursi mobil akan basah. Aku segera menstarter mobil dan melajukan mobilku menuju rumah.
Aku tiba kerumah dalam beberapa menit. Ibuku segera membawakan payung untukku.
“ Tidak usah, mom,” seruku dibalik berisik suara hujan menimpa bumi. “ Aku sudah basah!”
“ Kenapa kau hujan-hujanan, Nadine?” tanyanya cemas dan marah.
“ Jarak kamar Panji – “ hatiku mencelos begitu nama itu disebut, “ – dengan mobil jauh mom. Jadi aku berlari-lari menembus hujan!” alasanku. Mom merangkulku dibawah payung menuntunku masuk kedalam rumah yang nyaman.
“ Tapi kau kan tidak harus hujan-hujanan, Nadine sayang,” ibuku mengernyitkan dahi seperti tahu aku berbohong. “ kenapa tidak menunggu reda? Apakah Panji – “ lagi-lagi hatiku mencelos mendengar namanya. “ – tidak punya payung?”
“ Aku sanksi anak cowok memiliki payung,” sahutku. Ibuku menyodorkan segelas teh hangat untukku. Aku langsung meneguknya, “ kita tidak tahu kapan hujan akan berhenti. Aku tidak mau membuat kau menunggu terlalu lama, mom.”
“ Oh, Nadine,” ibuku memeluk tubuhku yang basah. “ Sebaiknya sekarang kau ganti baju. Tubuhmu dingin, nak.”
Aku mengangguk lalu beringsut menuju kamarku. Setelah pintu kamar tertutup, aku menguncinya dan menyalakan lampu kamar. Aku mengeluarkan hapeku dari tas. Ada satu SMS dari Panji. Aku mendengus marah dan membacanya.
Mavkan aku, Nadine

Aku melemparkan hapeku keatas kasur. Lalu aku beranjak kekamar mandi. Untuk melunturkan sisa kemarahanku.

Rabu, 14 Januari 2009

...

Aku g pnah ngrasa sesendiri ini.G ada tman yg mNemani aQ.MNyeDihkan..Ingn mNangs,tp uTk apa??Aq g pny sapapun didktQu..Apa yg hrz aq lakukan??Aq ingn mNgHilangkan rasa kesepian ini..

My ancesstors..assignment english

My name is Renata Aprianti. i was born in Jayapura on April 10th, 1990. Althought i was born in jayapura, but i pure Sundanese. My Father comes from Bandung, and my mother too. My Grandmother from my mother is Sundanese-Chinese, but now she is moeslem. My grandfather (alm.) comes from Bandung.

My Grandfather was a Policeman. he was born before Indonesia became independent day.
my Grandfather was married my Grandmother when my grandma became a moeslem. my grandfather is Yoyo Wiharyo. he was died three years ago. i felt very sad and i missed him so much. my grandfather is very closed with me.
My Grandmother now live with my cousin and a maid. i know that she was very missed my grandfather too.

That's about my Grandfather and grandmother. i just know a little about them.
Thank you...bubye

Senin, 12 Januari 2009

Bagaimana cara dan syarat pengiriman demo lagu ke SONY BMG?

Bagaimana cara dan syarat pengiriman demo lagu ke SONY BMG?

Buat kamu yg ingin tahu cara dan syarat pengiriman demo lagu ke SONY BMG, Begini Caranya:

1. Demo BUKAN merupakan master rekaman, tapi berbentuk copy dalam CD / kaset.
2. Demo yang masuk menjadi hak milik SONY BMG dan tidak dapat dikembalikan.
3. Yang harus dilengkapi jika ingin memasukkan demo :
* Lagu yang direkam minimal 3 (tiga) buah (Kecuali untuk Pencipta Lagu).
* Menyertai teks lagu.
* CD / kaset harus diberi nama, baik pada cover dan juga di CD / kaset tersebut.
* Biodata harus lengkap, berikut alamat & nomer telphone yang bisa dihubungi.
* Menyertai foto ukuran post card, minimal 2 lembar (Kecuali untuk Pencipta Lagu).
4. Demo rekaman dikirimkan ke:
Department A&R SONY BMG
PO BOX 1818
JKP 10018
5. Apabila pihak SONY BMG tertarik dengan demo yang kami terima, maka yang bersangkutan akan kami hubungi.
6. SONY BMG menjamin bahwa demo lagu yang masuk tidak akan disalahgunakan atau digunakan tanpa izin dan kontrak resmi kepada pemilik lagu yang bersangkutan.


TANPA KELENGKAPAN SEMUA PERSYARATAN TERSEBUT DIATAS, DENGAN SANGAT MENYESAL DEMO TIDAK DAPAT KAMI TERIMA / PROSES.


http://www.sonybmg.co.id

Minggu, 11 Januari 2009

"FEELINGS" PART 1

1. KEHIDUPAN BARU




Aku duduk diujung tempat tidur dengan perasaan hampa. Hujan lagi-lagi mengguyur kota sejak aku tiba dikota ini. Seakan-akan langit tahu betapa sendunya hati dan jiwaku. Aku mendengar suara seorang wanita dalam kepalaku, namun tidak ditelingaku. Aku menolehkan kepalaku kearah pintu kamar sebelum pintu itu bebar-benar terbuka.
“ Selamat pagi Nadine,” sapa ibuku. Tidak kaget melihat aku sudah tahu kemunculannya.
“ Pagi,” sahutku muram.
“ Hujan lagi, ya?” ibuku berbasa-basi sambil melangkah mendekatiku. Lalu ia duduk disebelahku. Memandangiku dengan prihatin lalu mengelus kepalaku. “ Kau baik-baik saja?”
Aku mengangguk meyakinkan, “ yah…” jawabku kemudian.
“ Hari ini awal kau kuliah, ya?” Tanya ibuku mencoba berbasa-basi lagi.
Aku menjawabnya dengan sekali anggukan
“ Kau senang?” Tanya ibuku sambil menatapku cemas.
Aku menghela napas bosan. “ Mom, I’m okay!” pekikku gelisah karena sedetik yang lalu mendengar pikiran ibuku yang cemas dan putus asa. “ Jangan khawatirkan aku lagi. Aku baik-baik saja!” aku meyakinkannya dengan tatapan mataku.
Ibuku mendengus pelan. “ Oke kalau kau baik-baik saja. Tapi ibu minta kau jangan murung lagi, ya. Ibu nggak sanggup melihat putriku yang cantik murung terus…” ibuku membelai kepalaku dengan sayang.
Aku sedikit tersinggung dikatai murung – dan kuakui aku memang murung. Namun aku sudah berusaha menutupi semua perasaanku dari ibuku yang kutahu itu tidak bisa mengelabui insting seorang ibu.
“ Jangan khawatirkan aku lagi,” kataku meriang-riangkan suaraku. Tapi terdengar justru sangat aneh dan memaksa. “ Bagaimana kabar Dad? Dia oke?”
“ Secara keseluruhan dari dirinya, ya. Dia baik-baik saja. Tapi pekerjaannya sedikit tidak baik,” jawab ibuku.
Mas Dimas masih mencari para mafia itu.
Aku mendengar pikiran ibuku.
“ Kalau ibu tidak keberatan, aku akan mandi dulu,” ujarku secara halus mengusir ibuku dari kamar.
“ Oh, oke. Aku tunggu dibawah. Aku sudah siapkan sarapan untukmu.”
Pintu kamarku tertutup.
Aku menghela napas lega. Lega karena tidak harus mendengar pikiran ibuku tentang aku lagi.
Dengan enggan aku pun menuju kamar mandi untuk membasahi diriku dengan air, memakai sabun, keramas dan menyikat gigiku. Aku tidak berminat untuk mencari baju yang bagus untuk kupakai kekampus baruku. Aku hanya mengambil celana jeans dan kaus yang disimpan ditumpukkan paling atas dilemariku. Aku hanya butuh beberapa menit untuk berias. Sebenarnya tidak benar-benar berias sih, hanya memoles pelembab dan menyisir rambutku.
Aku sudah bisa mendengar pikiran-pikiran ibuku ketika aku sampai dibawah tangga dan menuju ruang makan. Aku menghampiri ibuku dan mengecup pipinya. Kemudian aku duduk dikursi sebelahnya.
Aku hanya berdua dengan ibuku dirumah ini. Ayahku masih di New York. Masih harus meneruskan pekerjaannya menangkap mafia-mafia yang mencoba membunuhku – namun malah membunuh orang yang kucintai. Aku anak satu-satunya dikeluargaku. Ayahku adalah kepala FBI di Amerika. Sedangkan ibuku adalah aktris opera di Hollywood. Namun di Indonesia dia memilih hanya menjadi ibu rumah tangga dan menjagaku.
Aku menyelesaikan sarapanku cepat-cepat. Jam sudah berdentang Sembilan kali berarti menyuruhku untuk segera berangkat kekampus baruku. Aku mengecup kedua pipi ibuku yang cantik sekali. Namun ada kelelahan yang terpancar dari wajahnya.
“ Baik-baik saja ya sayang. Jangan banyak berdiam diri. Bergaullah dengan teman-teman barumu!” pesan ibuku.
“ Yah…doakan saja…” sahutku sambil mengendikkan bahu.
Ibuku menatapku galak. Dan berbicara denganku dari pikirannya.
Aku memutarkan bola mataku dengan pasrah. “ Oke, mom! Oke!”
“ Baiklah. Jangan pulang terlalu larut. Walaupun kita tahu disini kemungkinan aman, tapi jangan lupa tetap waspada!” ibuku berultimatum.
“ Aku tahu,” sahutku. “ Aku pergi. Hati-hati dirumah, mom! Aku sayang padamu!” aku mengecup pipinya sekali lagi lalu berjalan menuju mobil RX6 silverku yang baru.
Aku menjalankan mobilku dengan kecapatan sedang. Bahkan hamper pelan. Jarus speedometer tidak beranjak dari angka enam puluh sejak aku berangkat dari rumah tadi. Aku memang tidak berniat untuk datang tidak terlambat kekelas baruku. Jujur saja, aku takut. Takut teringat kenangan-kenanganku semasa sekolah dengan Edgar dulu. Hatiku terasa nyeri saat mengucapkan nama Edgar – walaupun hanya dalam pikiranku.
Tidak enak rasanya hidup diliputi kesedihan dan kesendirian seperti ini. Aku sampai harus menghela napasku lagi untuk melegakan sesak didadaku. Tanpa terasa aku sudah membelokkan mobilku masuk kegerbang kampus dan memarkirkan mobilku. Aku bahkan tidak ingat saat mengendarai mobilku menuju sini.
Aku melihat jam tanganku sekilas. Masih pukul setengah sepuluh kurang lima. Tandanya aku tidak terlambat. Sial sekali. Tapi aku memutuskan untuk keluar dari mobil dan masuk kedalam kelas pertamaku karena orang-orang memandangiku – atau memandangi mobilku yang kelewat mewah ini? Hahahaha…aku mencoba menghibur diri sendiri.
Dan aku benar tentang keduanya. Orang-orang disekitarku memandang mobilku dan aku. Well, sebenarnya aku tidak terlalu suka menjadi perhatian. Aku sudah minta pada ayahku untuk dibelikan mobil yang biasa saja. Namun biasa dalam pikirannya berbeda dengan definisi biasa dalam pikiranku.
Ruang 1B.
Itulah kelas pertamaku. Kelas sudah dipenuhi mahasiswa-mahasiswa baru dan calon teman-teman baruku. Kepalaku mulai berdenging karena banyaknya pikiran yang kudengar secara tidak sengaja. Aku menarik napas lalu membuka pintu kaca kelasku.
Semua mata tertuju padaku.
Tatapan mereka seolah-olah aku ini ratu sejagad saja. Kalau ibuku yang diperhatikan seperti ini aku tidak akan merasa aneh. Tapi ini aku. Akulah yang mereka tatap dengan pikiran yang bisa kagum dan iri padaku. Ada apa denganku?
Aku mengejang. Tubuhku bergeming ditempat tidak dapat bergerak. Pikiranku panik. Namun aku kembali rileks beberapa detik kemudian. Well, kadang mengetahui pikiran orang kadang-kadang sedikit menentramkan hatiku. Aku melangkahkan kakiku ketempat duduk yang masih kosong dibarisan kedua. Aku mencoba tersenyum pada calon teman-teman baruku.
Aku gelisah. Masih belum nyaman berada dilingkungan baru ini. Seseorang menyentuh bahuku, membuatku kaget dan menoleh dengan cepat.
“ Kau membuatku kaget,” ujarnya sambil menyunggingkan senyumnya yang…menawan. Aku tidak munafik, cowok ini ganteng sekali.
“ Harusnya aku yang bilang begitu,” sahutku sedikit sinis.
Dia menyodorkan tangannya padaku dengan maksud menjabat tanganku. Dengan ragu aku meraih jabatan tangannya.
“ Panji,” ujarnya.
“ Nadine,” ujarku.
Perkenalan singkat, kukira. Walaupun aku tahu dipikirannya banyak sekali yang ingin ia tanyakan padaku. Salah satunya,
Kau bisa membaca pikiranku?
Aku mengernyit. Tidak yakin cowok bernama Panji itu berbicara padaku dalam pikirannya.
Ya benar! Kau bisa membaca pikiranku!
Aku masih diam. Ragu-ragu untuk membalas ucapannya. Dalam pikiran sekalipun. Aku berusaha mengosongkan pikiranku. Agar Panji tidak bisa membaca apa yang aku pikirkan.
Please, sahutlah aku.
Aku tetap bergeming. Kemudian aku bersyukur karena seorang laki-laki separuh baya masuk kedalam kelas. Aku yakin itu dosen kami dalam mata kuliah ini.
Mungkin aku salah. Mungkin dia tidak bisa benar-benar membaca pikiranku. Hanya pikiranku saja.
Lagi-lagi aku mendengar Panji berbicara dalam pikirannya. Tapi aku berusaha mengendalikan pikiranku agar tidak memikirkan sesuatu yang penting tentang hal membaca pikiran ini.
Dosen itu bernama pak Cahyo, dosen Pengantar Manajemen Bisnis. Ia mengajak kami berkenalan. Yah itulah yang dilakukan dosen setiap masuk kelas baru. Pak Cahyo mengabsen kami satu persatu dan menanyakan darimana kami berasal. Pak Cahyo sampai pada namaku.
“ Nadine Agnestya!”
“ Ya!” sahutku datar.
“ Kau berasal darimana?”
“ New York,” jawabku singkat. Namun sedetik kemudian aku menyesal telah menjawab itu. Seharusnya aku bilang saja berasal dari Bandung. Jadi mereka – dosen dan teman-teman sekelas – tidak perlu memandangiku, bahkan menilikku.
“ New York!” pak Cahyo terlihat kagum. “ Bagaimana keadaan disana? Asyik?”
Aku bergidik. Asyik darimana? Ada juga menyedihkan.
“ Begitulah,” sahutku singkat.
“ Apa pekerjaan ayahmu?”
Aku sebal karena dosen ini banyak ingin tahu.
“ Mmmm…agen FBI,” jawabku ragu.
“ Wow…” seru hampir seluruh teman sekelasku.
Lagi-lagi aku merasa menyesal telah salah menjawab.
“ Ibumu juga?” Tanya pak Cahyo lagi.
Aku mulai berhati-hati menjawab, “ Dia…hanya…ibu rumah tangga!”
Pak Cahyo mengangguk sekali sambil tersenyum lalu meneruskan mengabsen nama setelahku.
Lalu mulailah hal yang sudah kuduga. Teman-teman dikiri, kanan, depan dan belakangku mengajakku berkenalan dan banyak bertanya banyak hal. Dan mereka baru berhenti mengintrogasiku saat pak Cahyo menegur.
“ Panji Nugraha,” pak Cahyo sampai pada cowok yang bisa membaca pikiran itu.
“ Hadir, pak!” sahutnya sok ramah.
“ Kau berasal darimana?”
“ Yogyakarta,” sahutnya.
“ Selanjutnya, Pingkan Aulia,” pak Cahyo melanjutkan mengabsen.
Sial. Hanya aku yang diinterogasi hanya karena aku berbeda.
Pelajaran akhirnya dimulai dengan membosankan dan tidak menarik perhatianku. Pelajaran akhirnya selesai setelah seratus lima puluh menit. Cukup lama bila keadaan membosankan. Aku segera bangkit dari kursi lalu beranjak keluar kelas. Namun aku membaca pikiran Panji untuk menahanku.
“ Nadine!” serunya. Benar saja.
Aku menghentikan langkahku diambang pintu. “ Ya?”
“ Mau kuantar pulang?” tawarnya ramah. Aku mengernyit.
“ Tidak. Terima kasih. Aku membawa mobilku sendiri,” aku menolaknya secara halus.
Dia tampak kecewa. “ Kalau begitu, sampai tempat parkir?” rupanya dia tak mau menyerah.
“ Oke,” aku menyerah. Tidak mau dia semakin memaksa. Aku merasakan tatapan teman-teman sekelasku. Cukup tidak membuatku tak nyaman. Tidak enak rasanya kita dikelilingi orang banyak saat kita sedang ingin sendiri.
Aku dan panji berjalan berdampingan. Kulirik tampangnya yang ganteng sekali itu dengan seksama. Kepalanya nyaris botak akibat dari masa orientasi tiga hari yang lalu. Yang mewajibkan anak laki-laki dicukur seperti Tukul Arwana. Menyedihkan. Aku tidak suka cowok botak. Kuperhatikan lagi cowok disebelahku itu. Badannya tegap dan sedikit terbentuk – tidak terlalu atletis sih, tapi cukup berbentuk dan berisi. Sedikit mirip Edgar… aku menggeleng keras-keras agar pikiran tentang Edgar tidak menyakiti hatiku yang sudah sakit.
“ Rumahmu dimana?” Panji akhirnya membuka percakapan diantara kami.
“ Di Dago,” sahutku. “ Kau?”
“ Aku menyewa kamar kost di wisma Griya beberapa meter dari kampus,” sahutnya. Kudengar pikirannya yang senang karena aku balik bertanya.
“ Yang mana mobilmu?” Tanya Panji saat kami sudah sampai ditempat parkir mobil khusus mahasiswa.
“ Yang silver itu,” aku menunjuk mobil RX6-ku sekilas.
“ Wow!!” pekik Panji kagum. Aku sampai kaget. “ Itu mobilmu?!”
Aku hanya mengangguk. Menahan diri untuk tidak tersenyum karena ekspresinya yang berlebihan. Panji masih saja terus mengoceh kagum pada mobilku saat kami berjalan menghampiri mobilku.
“ Mobil ini adalah mobil idamanku,” ocehnya. “ Aku sudah ratusan, bahkan ribuan kali merengek agar dibelikan mobil ini. Bagaimana caranya kau mendapatkannya?”
“ Well,” aku berpikir mencoba mengingat mengapa aku mendapatkan mobil ini. “ Aku hanya minta dibelikan mobil yang biasa, dan ayahku membelikanku ini.”
“ Wow!” Panji tak hentinya berkata ‘wow’. “ Pasti biasa untuk ukuranmu dan ayahmu berbeda, ya?”
“ Kupikir juga begitu,” sahutku. “ Aku malah berharap dibelikan mobil seperti Mr. Bean punya saja.”
Panji mengernyit heran. “ Kau gila?”
“ Entahlah. Kurasa itu yang aku rasakan akhir-akhir ini,” kataku hati-hati. Takut ternyata Panji bias membaca pikiran yang aku coba kendalikan.
Panji menggeleng. “ Maksudku, mobilmu,” Panji menekankan kata terakhirnya yang menunjuk padaku.
“ Kenapa?” tanyaku heran namun lega. Lega karena ternyata Panji tidak membaca pikiranku. Setidaknya belum.
“ Semua orang disini menginginkan mobil seperti punyamu! Dan kau berharap dibelikan mobil seperti Mr. Bean punya?” matanya terbelalak geli.
Aku mengendikkan bahu. “ Kau membawa mobil? Aku bermaksud ingin memberimu kesempatan merasakan naik mobilku,” aku bermaksud bercanda. “ Walaupun hanya beberapa meter.”
Panji tertawa. “ Tentu saja aku mau! Untuk apa aku mengendarai mobilku dalam beberapa meter?” lalu ia masuk kedalam mobil setelah kubuka kunci otomatisnya.
Aku mengantarkan Panji sampai wisma yang ia sewa.
“ Berminat melihat kamarku yang berantakan? Siapa tahu aku menemukan bakpia diantara tumpukkan barang yang belum sempat kubereskan,” tawar Panji sebelum keluar dari mobil.
“ Tidak kali ini kurasa. Ibuku menyuruhku pulang cepat,” ujarku.
“ Oke,” katanya tampak kecewa. “ Tapi besok kau harus mampir! Itu akan menjadi motivasiku untuk membereskan kamar.”
Aku menimang sebentar. “ Baiklah jika kau memaksa.”
Lagi-lagi Panji tertawa. “ Oke. Aku memaksa! Baiklah, sampai besok ya! Berjanjilah besok kau akan duduk disampingku!”
Aku menatapnya bingung. Mencoba membaca pikirannya tanpa membuka pikiranku. Kosong. Aku menebak, ia menutup pikirannya juga.
Aku menghela napas, “ Baiklah, Panji.”
“ Janji?”
“ Janji.”
“ Sampai besok kalau begitu!” katanya lalu melangkah keluar mobil. Namun saat hendak menutupnya, ia membukanya lagi. “ Boleh minta nomor hapemu?”
“ Tentu.” Kemudian aku menyebutkan sederet angka nomor hapeku dan ia mencatat dihapenya.
“ Akan ku-SMS kau nanti,” janjinya.
“ Akan kubalas jika aku tidak sibuk,” sahutku.
“ Kuharap kau tidak sibuk,” katanya sungguh-sungguh,
Aku hanya tersenyum kecil.
Panji menutup pintu mobil. Melambaikan tangannya padaku lalu aku meluncurkan mobil menuju rumahku.
Aku menemukan ibuku sedang berkebun dihalaman. Ia tersenyum melihat kedatanganku. Aku menghampirinya setelah memarkir mobilku dibelakang mobil New Camry miliknya.
“ Hai, mom!” aku mengecup pipinya dengan cepat.
“ Hai, Darling. Kau tampak…” ibuku menilik wajahku sebentar sebelum berkata, “ ceria.”
Aku langsung diam bergeming menatapnya. “ Mungkin hanya pengaruh candaan dosenku dikelas,” aku berbohong.
Ibuku tersenyum. “ Aku senang dosenmu bisa membuat putrid cantikku tersenyum kembali. Sampaikan salamku pada dosenmu yang jenaka itu.”
“ Tentu,” aku menyeringai aneh. “ Aku ganti baju dulu.”
“ Makan siang sudah kusiapkan dimeja makan.”
“ Siang ini mendung lagi, mom. Aku tidak ingin kau masuk angin,” aku mengingatkan ibuku.
“ Tentu saja aku juga tidak ingin,” sahutnya.
“ Aku akan menyusulmu ke meja makan setelah kau disana,” janji ibuku.
“ Oke.”
Aku bergegas menuju kamarku dilantai dua. Setelah menutup pintu dibelakangku, aku mengehela napas. Aneh rasanya perasaanku saat ini. Sesak didadaku mulai berkurang. Mulai terasa ringan. Sudah lama aku tidak berbicara sebanyak yang aku lakukan pada Panji. Sudah lama aku tidak memiliki perasaan ingin menertawakan orang.
Lalu aku teringat ucapan Panji dalam pikirannya. Jantungku seolah-olah berhenti berdetak selama sedetik. Jangan sampai Panji tahu rahasiaku. Rahasia bahwa aku bisa membaca pikiran orang. Tapi Panji tidak akan tahu jika dia tidak bisa membaca pikiran juga! Jangan-jangan Panji juga bisa membaca pikiran sama sepertiku. Ada gejolak aneh dalam dadaku. Napasku memburu dan kenangan pahit itu seolah melintas lagi dibenakku.
Tidak. Aku tidak boleh mengingat kejadian itu lagi.
Aku mengeluarkan liontin kalung yang tersembunyi dibalik kausku. Cincin perak polos yang didalamnya terukir nama Edgar – yang adalah liontinnya – kugenggam erat-erat. Airmataku menetes tanpa diberi aba-aba. Hatiku kembali pedih. Wajah Edgar Nampak begitu nyata dalam benakku. Padahal aku sudah menyingkirkan semua fotonya. Aku sudah menyimpannya dalam gudang. Aku tidak mau kembali merasa bersalah dan harus membunuh diriku sendiri bila melihat fotonya.
Aku linglung. Lututku lemas sehingga tidak mampu menopang tubuhku yang makin bertambah kurus, lalu aku jatuh terduduk dilantai. Masih terus menangis tanpa bersuara sambil sesekali menyebut nama Edgar.
Harusnya sudah kusingkirkan juga kalung ini. Tapi saat aku hendak melakukannya aku tidak sanggup. Rasanya sebagian jiwa Edgar berada dalam kalung ini. Aku tidak sanggup membuat jauh Edgar. Walaupun hanya namanya yang terukir dalam cincin perak polos. Edgar seolah-olah hidup dalam cincin ini dan berbisik menenangkanku saat cincin yang tergantung ini menyentuh dadaku tepat diatas jantungku yang berdetak tak karuan.
Aku mendengar suara ibuku dalam pikiranku. Ibuku datang. Ia pasti cemas menungguku yang tidak juga keluar dari kamar. Aku menebak sudah lama sekali aku menangis. Mungkin sekitar satu jam lebih. Aku mendengar pintu kamar diketuk. Lalu muncul kepala ibuku yang cantik.
“ Sayang,” sapanya. “ Kau kenapa?” ujarnya panik sambil mendekatiku saat melihat wajahku yang kacau.
“ Mom, harusnya aku yang mati! Harusnya aku! Bukan Edgar!” raungku disela-sela tangisku yang makin menjadi.
Ibuku makin erat memeluk tubuhku. Ia ikut menangis. Aku tahu itu salah. Aku sudah melanggar janji untuk tidak membuat ibuku menangis. Aku melanggar janji.
“ Sayang, sudahlah…” isak ibuku.
“ Maafkan aku, mom. Aku membuatmu sedih.”
Ibuku menggeleng. “ Sudahlah. Tenangkan dirimu. Kau akan oke. Edgar akan bahagia melihatmu bahagia, sayang.”
Aku mengangguk dengan paksa. Itu kulakukan untuk menenangkan ibuku. Agar ia tidak menangisiku.
“ Sori, mom. Aku membuatmu menunggu lama di meja makan, ya?” tanyaku sambil memasukkan liontin kedalam kausku lagi. “ aku janji akan langsung menyusulmu ke meja makan setelah berganti baju.”
Ibuku menatapku sanksi. Aku mendengar pikirannya tidak memercayaiku.
“ Aku janji,” kataku meyakinkan.
“ Baiklah. Cepat ya, Nadine sayang.” Ibuku mengecup keningku lalu menghilang dibalik pintu yang tertutup.
Aku menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Lalu menguatkan diriku untuk berganti baju dan berjanji lagi untuk tidak membuatnya menangisiku lagi.
Aku sedih melihat ibuku yang murung dimeja makan saat aku menepati janjiku untuk cepat menemuinya. Lalu aku meriang-riangkan suaraku yang parau akibat menangis tadi.
“ Mom,” sapaku dengan riang yang dibuat-buat.
“ Nadine,”
“ Apa yang kau masak untuk makan siang?” tanyaku mengalihkan perhatiannya.
“ Oh, hanya ayam goreng dan tumis kangkung. Tapi sudah dingin sekarang,” ia tampak kecewa. Perasaanku menjadi tidak enak lagi.
“ Masakan Indonesia. Aku menyukainya. Apalagi buatanmu, mom. Ayo kita makan. Perutku sudah menjerit-jerit untuk diisi.”
Ibuku tersenyum lalu mengisikan piringku dengan nasi, ayam goreng dan tumis kangkung. Dan mengisikan piringnya juga,
Aku mencoba terlihat lahap walaupun sebenarnya tidak bernapsu untuk makan. Tenggorokkanku rasanya tidak enak.
“ Bagaimana kuliah pertamamu?” Tanya ibuku.
“ Baik,” sahutku sambil mengunyah.
“ Sudah dapat teman?” Tanya ibuku lagi sambil menyuapkan sendok yang berisi makanan kemulutnya yang mungil.
Aku menelan lalu meneguk air putih sebelum berbicara. “ Mmmm…apa Panji bisa disebut teman?” aku malah balik bertanya.
“ Panji? Siapa Panji? Cowok yang kau taksir?” goda ibuku.
Aku mengernyitkan dahi yang tertutup oleh poni. “ Bukan, mom!”
“ Lalu? Cowok yang menaksirmu?” tebak ibuku lagi.
Aku mengerang. “ Ayolah mom…” aku sedikit merajuk.
“ Oke. Ceritakan!” tuntut ibuku.
Lalu aku menceritakan kejadian pada awal Panji mengajakku berbicara, mengajakku berbicara dalam pikiran, dosen yang banyak bertanya, Panji yang takjud melihat mobilku, dan mengantarkan Panji pulang. Perasaanku mendadak aneh. Tapi bukan perasaan sakit. Melainkan perasaan lega. Sepertinya sudah lama aku tidak saling bercerita dengan ibuku.
Tapi kuperhatikan ibuku tampak senang. Aku pun ikut senang.
“ Wah, kalau aku dengar dari ceritamu, kurasa Panji anak yang baik,” tebak ibuku begitu aku selesai bercerita.
“ Terlebih lagi dia ganteng sekali!” sambungku.
“ Oya? Ajak dia main kesini. Ibu ingin menilai, seberapa gantengnya dia?”
“ Janji padaku mom tidak akan jatuh cinta pada borondong!” candaku.
“ Hei! Tentu saja tidak!”
“ Sebenarnya besok aku sudah berjanji – sebenarnya dia yang memaksaku untuk berjanji – untuk berkunjung ketempat kostnya. Kalau mom tidak keberatan – “
“ Tentu saja tidak! Aku senang kau memiliki teman baik secepat ini. Bertemanlah yang baik dengannya. Kalau dia macam-macam padamu, laporkan padaku!” kata ibuku. Kata-katanya yang terakhir terdengar galak.
“ Tenang saja. Aku bisa menjaga diriku sendiri!” ujarku.
Aku menghabiskan sisa siang dengan ibuku. Bercerita sampai mulut sudah pegal. Senang rasanya kembali dekat dengan ibuku. Aku jadi rindu dengan ayahku juga. Andai saja ia cepat pulang kesini. Mungkin ceritanya akan lebih seru. Acara cerita-cerita terhenti begitu handphone-ku berbunyi mengalunkan lagu Paramore yang menjadi soundtrack film Twilight.
“ Kurasa itu Panji,” kataku meminta ijin pada ibuku untuk meninggalkannya sementara.
“ Sambutlah. Siapa tahu dia mengajakmu pergi malam ini,” goda ibuku lagi.
“ Hentikan, mom!” sergahku.
Ibuku tertawa. “ Oke, oke.”
Aku langsung melesat menuju kamarku. Kusambar hapeku dari atas meja rias. Suaranya kencang sekali. Aku membuka pesan yang ternyata memang dari Panji.
From : +6285220224633
Nadine? Ini Panji. Besok jangan lupakan janjimu :p

Aku tersenyum membaca pesan darinya. Sudah lama sekali aku tidak pernah ber-SMS-an dengan siapapun. Aku sedih saat memegang hapeku. Karena Edgar tidak akan pernah lagi menelepon atau mengirimku SMS. Itu menyakitkan sekali. Tapi kali ini entah kenapa aku ingin sekali membalas pesan dari Panji.
To : +6285220224633
Oke.tenang sja.aQ tdak akn lupa ;p

Lalu aku menyimpan nomor hape Panji kekontakku. Lama aku menunggu balasan dari Panji. Sampai-sampai aku tertidur. Mungkin aku kelelahan menjalani hari ini. Aku tidak sabar menunggu hari esok. Entah kenapa aku bersemangat sekali menyongsong hari esok. Padahal sebelumnya, aku tidak pernah berharap hari esok datang untukku.

My Novel... "FEELINGS"

PENDAHULUAN




Aku memandang wajahku yang dipantulkan oleh cermin yang tergantung didinding kamarku. Tapi yang aku lihat seperti bukan aku. Matanya bengkak karena terlalu sering menangis. Bibirnya berdarah karena sering digigit untuk menahan rasa sakit – rasa sakit dihati. Tapi aku tersadar. Itu aku. Itu bayanganku. Mengerikan melihat bayangan wajahku yang seperti itu. Seperti tidak ada yang lebih menyakitkan saja daripada melihat wajahmu sendiri merana seperti itu.
Aku menghirup napas dalam-dalam untuk memenuhi paru-paruku dengan udara. Walaupun aku yakin paru-paruku sudah terisi banyak udara, namun entah mengapa rasa sesak masih saja memenuhi rongga dadaku. Mataku panas, menandakan air mataku mulai menggenang dan siap meluncur turun untuk sedikit melegakan perasaanku.
Pikiranku melayang lagi pada kejadian tadi malam. Berat rasanya mengingat hal yang menyedihkan saat sudah banyak kesedihan yang sudah banyak kau alami. Itulah yang sedang kurasakan. Seharusnya ini tidak harus terjadi. Ya seharusnya ini tidak lagi terjadi dihidupku. Aku menghela napas sambil berharap setiap helaan napasku membuang kesedihan yang menjalar ditubuhku.
Sesaat aku bergeming menatap nanar mataku yang bengkak dari pantulan cermin. Pikiranku melayang lagi pada kejadian satu setengah tahun lalu saat aku masih tinggal di New York. Sahabatku dari bayi yang juga kekasihku meninggal didepan mataku seketika saat salah seorang dari mafia yang memiliki jenggot hitam panjang melepaskan tembakan yang bermaksud untuk melumpuhkanku. Namun entah keberuntunganku atau kesalahanku, Edgar-lah yang terkena peluru tembaga tersebut. Dia melompat kedepanku tepat saat peluru sudah satu meter didepan dadaku.
Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat untuk menghilangkan pikiran tersebut. Kejadian tersebut nyaris membuatku depresi. Bahkan hampir menjadi gila. Aku pikir dengan kepindahanku kekampung halamanku, Bandung di Indonesia, semua ini bias terlupakan. Bahkan tidak terjadi lagi. Namun aku salah.
Ketika kebahagiaan sedang berjalan untukku, kesedihan kembali merenggutnya dariku. Dan lagi-lagi melibatkan orang yang kucintai.

engaged or married??????!!!

my mother is planning to be in agreement over me and my neighbor. oh my God!!

Jumat, 09 Januari 2009

U should do soMething 4 this new year

It means that new year,new you..
Don't be a same persoN in this new year.Be a better persoN.
Don't be afraid to do soMething positive to change the world.
Change the world be more beautiful,colorful and less pollution.
What should we do?
Many things that we can do to change the world.But u should have a willingness,and a hardwork.U shouldn't do it urself.U can ask ur friends to help u.
Change the world with ur act..
Be a better living.
Don't make our world more damage!!
Save our world!!

Rabu, 07 Januari 2009

Who am i?

I still coNfuse about who am i..i feel so empty lately.I know it's abouT find who am i absoluTely..I doN't knOw what am i in the next day..Will be soMeoNe goOd or bad??
These mind are full of my head..
In fact,i don't know who am i absoluTely.I doN't knOw what i want..
AbouT my boyfriend, i cant understand abouT his mind.What did he think?
He is clouding up my mind..
He makes me coNfused..
AbouT my family..In last mOnday i was angry with my moM and my little brother.They are angry with me too..
I feel the world is hate me..