Sabtu, 18 Juli 2009

Feelings part 2 : 2. PANJI NUGRAHA

Panji Nugraha




Hari esok rasanya datang cepat sekali. Sehingga aku tidak sadar kalau aku sudah tertidur lama sekali. Hampir lima belas jam! Dengan semangat yang tidak aku mengerti aku pergi kekamar mandi. Lalu dengan semangat yang tidak kumengerti juga, aku mencari pakaian terbaikku – lalu aku sadar, pakaianku sudah lama semua, kemudian aku berdandan. Bukan dandanku seperti kemarin. Tapi benar-benar berdandan. Memakai pelembab, bedak, lipgloss oranye dan parfum!

Aku memandang pantulan wajahku dicermin. Kemudian aku mengernyitkan dahi sambil berpikir. Aku dandan untuk apa? Untuk siapa? Semangatku sudah lenyap saat selongsong peluru menembus dada orang yang sangat kucintai. Cahayaku sudah padam satu setengah tahun yang lalu. Ada apa denganku? Aku kembali berpikir. Wajah Panji yang ceria dan ganteng sekali itu terlintas dibenakku.

Panjikah yang membuatku seperti ini?

Tidak mungkin. Bahkan aku baru saja mengenalnya. Baru satu hari. Well, tidak genap satu hari sih. Kurang lebih seperti itulah.

Aku mendengar suara pintu dibuka. Ibuku. Tentu saja. Siapa lagi?

Ibuku juga mengernyit sambil mencium bau diudara. “ Kau pakai parfum?”

“ Mmmm…” sungguh, aku malu sekali.

Tapi ibuku tersenyum penuh sayang padaku. Aku mendengar pikirannya bahwa ia senang aku kembali normal. Tidak terpuruk seperti sebelumnya. Ibuku masuk menghampiriku. Kemudian memelukku dan mengecup pipiku.

“ Putriku memang cantik,” pujinya.

Bisa kurasakan pipiku panas dan pasti merona merah.

“ Yaiyalah…” sambung ibuku lagi. “ Ibunya juga cantik, pasti anaknya juga cantik!” candanya seraya nyengir padaku.

Mau tak mau aku pun ikut nyengir. “ Ah, mom…kau bisa saja menghibur diri sendiri,” aku balas candaannya.

“ Tapi sayang sekali cuaca tidak secerah hatimu,” kata ibuku sambil menatap air hujan yang turun dibalik jendela dengan penuh sesal.

“ Aku lebih suka begini,” sahutku. Ibuku menatapku heran. “ Aku suka harum tanah yang basah oleh hujan. Cuacanya juga. Walaupun dingin, tapi cuaca seperti ini menentramkan hatiku.”

“ Hmmm…Kurasa aku juga suka hujan,” timpal ibuku. “ Aku tidak perlu repot-repot menyiram bunga-bungaku!”

Aku tersenyum pada ibuku. Dan ibuku membalasnya juga.

“ Kau kuliah jam berapa?” tanyanya kemudian.

“ Jam tujuh lima puluh,” jawabku. “ Sekarang jam berapa?”

“ Tujuh tiga puluh,” jawaban ibuku membuatku melompat berdiri dari kursi riasku.

“ Aku bisa terlambat!”

“ Pakai jaketmu, darling,” mom mengingatkanku.

Aku menyambar jaket abu-abu yang sudah kusiapkan di atas tempat tidur. Aku mengecup ibuku lalu setengah berlari keluar kamar menuju garasi dimana mobilku terparkir.

“ I love you mom!” aku berteriak pada ibuku yang melepas kepergianku dari teras.

“ I love you, too!” balas ibuku. “ Jangan hujan-hujanan!”

“ Aku pulang agak telat,” aku mengingatkan ibuku atas rencanaku mampir ke tempat kost Panji.

“ Jangan terlalu malam!” ibuku member ultimatum.

“ Jangan khawatir!” seruku sebelum menutup pintu mobil dan menekan pedal gasku.

Hari ini berbeda dengan hari kemarin. Kemarin aku malas sekali datang sebelum jam kuliah dimulai. Namun hari ini aku tidak ingin datang terlambat. Mungkin aku akan sangat kecewa jika tempat duduk disebelah Panji sudah diduduki orang lain.

Aku mengeluarkan liontin yang bertuliskan nama Edgar dari dalam blusku yang berwarna hitam.

Edgar…

Aku menggenggam cincin itu erat-erat. Aku bukannya tidak berduka atas kepergianmu yang menggantikan aku. Kau tahu seharusnya akulah yang mati. Bukan kau. Hari ini aku merasa lebih ringan. Perasaan ini muncul begitu bertemu dengan Panji. Perasaan nyaman ini nyata seperti ada kau yang disampingku. Edgar, kau nggak akan mengerti betapa merananya aku setelah kehilangan kau. Rasanya aku juga ingin ikut mati. Well, aku sudah mencobanya. Berusaha untuk mati. Aku sudah menelan banyak sekali obat tidur. Tapi entah kenapa Tuhan seakan tidak menginginkan aku mati saat ini. Tidak sekarang kita bertemu, Edgar. Mungkin suatu saat nanti kita akan berjumpa lagi. Aku mencintaimu. Aku mencium liontin itu lalu memasukkannya lagi kedalam blus hitamku.

Edgar akan selalu menjadi orang yang sangat aku cintai. Aku tahu. Semua orang tahu bahwa aku tidak bisa hidup tanpanya disisiku. Apalagi dengan cara dia pergi untuk menggantikan aku. Tidak termaafkan. Sudah puluhan kali aku mencoba untuk menebus kesalahanku. Tapi lagi-lagi aku terselamatkan. Lagi-lagi ibuku menangisiku. Aku menghela napas. Aku tidak ingin melihat ibuku menangisiku lagi. Aku berjanji. Aku ingin ibuku selalu tersenyum. Selamanya. Aku lebih tidak akan memaafkan diriku jika ibuku terluka dan sedih karena aku.
Aku kembali berkonsentrasi mengendarai RX8-ku yang melaju tersendat diantara hujan. Cuaca dingin sekali. Aku sampai harus menyalakan penghangat, bukan AC lagi. Aku menekan klakson beberapa kali dengan tidak sabar.


“ Oh, ayolah…” erangku panik.

Handphone-ku bergetar dalam tasku. Aku bisa mendengarnya bergetar-getar dengan garang. Aku mengaduk-aduk isi tasku sampai menemukan hape hitamku.

From : Panji
Dimna nenk? Kelas uda dimulai. Mana jnjimu yg akn duduk disbelahku? ;(

Aku mendengus pelan. Lalu membalas SMS-nya dengan cepat. Sudah lama aku tidak seantusias ini dalam menulis SMS.

To : Panji
OTW. Jlnan mcet bgt. Masi ada t4 duduk utkQu?

Aku menunggu balasan dari Panji dengan jantung berdebar tidak tenang. Tidak ingin membayangkan harus duduk jauh dari Panji. Hapeku bergetar hebat lagi.

From : Panji
Aku mulai terbiasa duduk disbelah bangku kosong ;((

Sialan. Dia menyindirku. Tapi aku menjadi lega. Bahwa dia sudah menyediakan tempat disebelahnya. Aneh, aku merasa… senang?

Aku melajukan kencang mobil putihku begitu jalanan tidak lagi padat. Lima menit kemudian aku sudah memarkir mobilku dengan amat disamping mobil X-trail hitam.
Aku segera mengerudungkan topi jaketku lalu turun dari mobil dan berlari menuju kampus dan mencari ruangan 4F, kelasku.

Sial. Aku lelah sekali. Kakiku lemas. Tapi aku tidak boleh menyerah. Aku sudah terlambat dua belas menit. Setidaknya masih dalam waktu tolerir telat maksimal lima belas menit. Sesampainya didepan ruangan 4F, aku berdiri dulu didepan pintu kaca yang tertutup. Mengatur napasku. Kemudian aku melepas jaketku, menyisir rambut dengan jari dan mengetuk pintu. Aku tersenyum semanis mungkin pada dosenku yang saat ini sedang – seperti biasa – perkenalan, aku mengedarkan pandanganku mencari wajah tampan yang duduk disebelah bangku kosong. Tiba-tiba aku tersenyum saat menemukannya sedang duduk dipojok barisan kedua. Aku menghampirinya.

Aku mendengar gumaman-gumaman teman sekelasku yang membicarakan aku – tentu saja dalam pikiran mereka. Tapi aku senang mereka tidak berbicara buruk tentang aku. Justru malah memuji aku. Kata mereka, aku cantik. Well, sudah lama aku tidak disebut cantik.

Cantik.

Aku mendengar suara Panji memujiku dalam pikirannya. Wajahku terasa panas lagi. Kuharap Panji tidak memperhatikan ekspresiku.

“ Darimana saja kau?” Tanya Panji dengan berbisik.

“ Sudah kujelaskan di SMS.” Jawabku pelan. Masih malu karena Panji memujiku. Walaupun bukan dalam kata-katanya.

“ Kau tahu? Kau cantik sekali,” kali ini aku yakin telingaku mendengar suara Panji memujiku.

“ Mmm…trims,” sahutku. Kurasakan wajahku terbakar.

Aku marah pada diriku sendiri. Please, ada apa denganku? Bersikaplah wajar. Yang memujiku hanyalah seorang Panji! Bukan Robert Pattinson atau Prince William!

Tapi justru karena itu Panji.

Pikiranku yang lain menjawab seakan membela adanya Panji.

Hahahaha, Nadine malu karena kupuji?

Aku tiba-tiba mengejang. Sadarlah aku kalau sejak tadi pikiranku ‘disadap’ oleh cowok ganteng disebelahku. Aku mengernyit marah padanya yang sedang menahan tawa.

Berhenti membaca pikiranku!, Aku memarahinya dalam pikiran. Tidak lagi memberi benteng dalam kepalaku.

Wow. Kau benar-benar bisa membaca pikiranku!

AKu tahu Panji sama kagetnya denganku.

Yeah. Dan kau juga dapat membaca pikiranku! Menyebalkan sekali!

Panji membalas ucapanku dalam pikirannya dengan nada getir.

Apa saja yang sudah kau baca?

Aku : Seharusnya aku yang menanyakan hal itu padamu!

Panji : Jangan bocorkan rahasiaku pada yang lain!

Aku : Seharusnya itu yang kukatakan padamu!

Akhirnya kami mengobrol dalam pikiran. Menyebalkan karena aku tidak lagi memiliki privasi bila berada didekatnya. Tapi menyenangkan karena tidak akan dimarahi oleh dosen.
Begitu asyiknya sampai aku tidak mendengar dosen menyebut namaku.

“ Nadine!” teman dibelakangku menepuk bahuku.

Aku tersentak. “ Apa?” sahutku bloon.

“ Dipanggil dosen tuh!”

Aku memandang dosen yang kepalanya setengah botak.

“ Ya, pak?” tanyaku. Linglung.

Dosen menggelengkan kepalanya. “ Jangan melamun!” tegurnya kemudian.

Membaca pikirannya tidak menyenangkan. Dia berpikir, untunglah ini hari pertama kuliah pelajaranku, kalau tidak sudah kumarahi. Sepertinya aku harus berhati-hati kedepannya.

“ Maaf, pak,” ujarku. Malu.

Hahahaha…rasakan…

Aku memelototi Panji.

“ Nadine,” dosen menghela napas lelah menghadapi aku. “ kau berasal darimana?”

“ N – Bandung, pak!” sahutku. Jelas berbohong.

“ Bohong, pak! Dia dari New York!” celetuk salah seorang teman sekelasku. Cowok itu berbadan tinggi, kurus dan berwajah menyebalkan.

Brengsek, aku memaki dalam hati.

Tidak boleh memaki. Walaupun dalam hati.

Aku memelototi Panji lagi.

“ Betul kau dari New York?” Tanya dosen.

“ Betul pak,” sahutku pasrah.

“ Mengapa barusan kau berbohong?” tuntut dosen.

“ Saya tidak berbohong, pak!” aku membela diri. Tidak suka dikatai berbohong. “ Saya memang orang Bandung asli. Hanya saja saya dibesarkan di New York.”

“ Orangtuamu asli dari New York?”

“ Tidak. Dua-duanya bukan. Mereka juga orang Bandung. Hanya saja ayah saya bekerja di…sana.” Melelahkan biacara panjang lebar begini. Menjelaskan darimana saya berasal.

“ Apa pekerjaan ayahmu?”

Lagi-lagi ini.

“ Agen FBI, pak,” aku menjawab dengan enggan.

Pak Dosen manggut-manggut. Aku dengar dalam pikirannya, bahwa ia kagum dengan ayahku.

“ Ayahmu menangani kasus pembunuhan mafia itu?” Tanya dosen itu lagi.

Aku mengejang. Terpaku menatap mata sang dosen yang begitu ingin tahu. Please, kau boleh tanyakan apa saja. Asal bukan yang itu.

“ Er – kurasa tidak,” aku berbohong lagi. Ucapanku terdengar seperti cicit aneh.

Kau kenapa?, Panji menanyaiku dalam pikirannya.

Tidak, jawabku singkat.

Untung sang dosen kembali meneruskan mengabsen.

Hari begitu berjalan lambat. Dua mata kuliah hari ini. Lima SKS. Aku begitu bahagia saat dosen mengucapkan perpisahan sementara. Oh, selamanya pun aku mau. Panji mengikuti aku keluar kelas.

“ Jadi?”

“ Bicara saja dalam kepalamu!” sindirku.

“ Kau marah?” tanyanya.

“ Oh, tidak! Aku ba-ha-gi-a!” kataku dengan penuh penekanan.

“ Kau kenapa, sih?” Tanya Panji tidak mengerti.

Aku membuka mulut untuk kembali menyerang Panji, tepat saat segerombolan cewek teman-teman sekelasku memanggil namaku. Aku dan Panji serempak menoleh.

“ Nadine,” sapa seorang cewek bertubuh gempal dengan rambut tergerai indah. Dia cantik sebenarnya.

“ Ya?” tanyaku pura-pura. Padahal aku sudah membaca pikiran mereka semua. Aku sudah tahu apa yang mereka inginkan dariku. Mereka ingin berteman denganku. Mereka cewek-cewek sosial kelas menengah keatas. Mereka hanya ingin bergaul dengan orang-orang kaya saja. Menjijikkan.

“ Kita belum pernah kenalan,” cewek jangkung, kurus, berkulit sawo matang kusam yang menyahut.

Yeah betul belum pernah kenalan. Baru juga dua hari masuk kuliah.

Seorang cewek berambut pendek dan gemuk, putih dan manis tersenyum padaku. Dan mengulurkan tangannya.

“ Devina,” cewek itu memperkenalkan diri.

Cewek bertubuh gempal yang pertama kali menyapaku bernama Adhilla, cewek kurus dan berwajah kusam bernama Putri. Dan seorang lagi yang bertubuh kurus, setinggi aku, berponi dan berambut lurus sepinggang, kulitnya putih dan cantik. Aku membaca pikirannya. Tidak jauh berbeda dengan yang lainnya. Hanya saja ia berbeda. Namanya Gianny.

“ Kalian pacaran?” Tanya Putri penasaran.

Yang kubaca, ia naksir berat pada Panji.

Aku saling lirik dengan Panji. “ Tidak. Tentu saja tidak!” jawabku cepat.

Kenapa tidak?, Panji menyahut dalam pikirannya.

Karena memang tidak, jawabku.

“ Tapi mengapa kalian terlihat begitu akrab?” Adhilla yang bertanya.

Dasar cewek-cewek ingin tahu urusan orang.

“ Begitukah kelihatannya?” Tanya Panji senang.

“ Tidak!” aku menghardik cepat-cepat sebelum Panji mengutarakan apa yang ia pikirkan. “ Kami baru kenal kemarin. Dan sekarang Panji berusaha beramah tamah denganku. Tentu saja.” Aku tersenyum setengah pada Panji yang memelototiku.

“ Oh,” kata Putri. Jelas kelegaan dalam nadanya.

Aneh, aku merasa tidak suka.

“ Kalian ada acara? Bagaimana jika kita pergi untuk makan siang bersama?” tawar Gianny.

“ Oh, trims banget tawarannya. Aku memang ingin pergi. Tapi – “ bantu aku Panji bodoh.

Tidak. Aku senang dikatakan pacaran denganmu. Mengapa kau tidak?

Aku menggertakan gigi. Jangan bercanda!

“ Panji dan aku tadi disuruh dosen kewiraan menghadapnya diruang dosen!” aku tidak tahu mereka akan percaya atau tidak dengan alasanku yang satu ini.

Kurasa tidak.

Keempatnya mengernyit.

“ Percayalah. Mungkin lain kali,” aku setengah memohon.

Devina menghela napas. “ Sayang sekali.”

Aku tersenyum tulus pada Devina yang juga tulus.

“ Kalau begitu, sampai nanti!” si bodoh Panji membuka mulut sekarang.

“ Iya. Sampai besok, Panji!” Putri menunjukkan senyum yang paling menawan – paling tidak menurutnya – pada Panji. Panji membalasnya hanya dengan senyum sekilas lalu menarik tanganku untuk segera pergi dari situ.

Kami aman didalam mobilku. Sementara paling tidak. Tetap saja pandangan mata masih banyak terarah padaku dan pada Panji dan juga pada mobilku.

“ Jadi?”

“ Berhetilah menanyakan itu, Panji! Kau pikir aku tukang ingkar janji?”

“ Kalau begitu kenapa kita tidak berangkat? Banyak yang ingin kutanyakan padamu, Nadine,”

Aku menatap matanya yang hitam.

“ Jangan menutup pikiranmu padaku!” desisku.

“ Kenapa? Kau juga menutup pikiranmu padaku!” sahutnya enteng.

Aku memutar bola mataku karena kesal. Lalu menyalakan mesin mobil dan beranjak dari parkiran meninggalkan berpasang-pasang mata yang menatap kami.

Kamar kost Panji tidak terlalu besar. Menurutku terlalu sempit. Tapi kelebihannya adalah dengan kamar mandi didalam. Aku memandang mengamati isi kamar Panji.

“ Maaf ya berantakan. Hanya segini yang mampu aku lakukan,” katanya sambil meringis.

“ Tak apa. Lebih baik dari kamar Ed – “ aku langsung mengejang sesaat nama Edgar hampir muncul dihadapan orang yang bahkan baru kukenal dan bisa membaca pikiranku.

“ Ed? Edwin? Edo? Edi?” tebak Panji. Aku memandangnya dengan galak. Tapi dia meneruskan tebakannya. “ Edu? Edan? Edin? Eden? Ed – “

“ Stop, Panji! Aku pulang, nih!” ancamku.

Panji malah tertawa dengan keras. Seakan menikmati kekesalan dalam hatiku. Aku merenggut jengkel. Tapi dengan santainya cowok ganteng itu justru malah merangkulku
dan masuk kedalam kamarnya. Dia menutup pintu kamarnya dengan menendangnya.

“ Yang sopan, dong!” omelku.

Panji mendudukkanku diatas tempat tidurnya. Dia masih merangkulku. Membuat jantungku berdebar. Dan sekuat tenaga aku membentengi pikiranku agar tidak terbaca oleh Panji.

“ Mau minum apa?” Panji melepaskan rangkulannya dengan santai dan menuju meja untuk menuangkan segelas air putih. “ Tapi hanya ada ini,” dia mengacungkan sebotol air mineral.

“ Kalau begitu jangan sok menawarkan!” sahutku judes. Senang akhirnya dia melepaskan rangkulannya.

“ Nih,” Panji menyodorkan segelas air mineral padaku. Aku meneguknya setelah menilik pikirannya dan yakin dia tidak memasukkan obat tidur atau sebangsanya yang dapat membuatku tak sadarkan diri. Lalu dia –

Aku bergidik membayangkannya. Aku yakin Panji bukan cowok seperti itu.

“ Jangan negative thinking tentang aku!” tuntut Panji.

Aku memelototinya, “ Jangan membaca pikiranku!”

“ Kau juga barusan berusaha membaca pikiranku!” Panji tak mau kalah.

Aku memutarkan mata lalu mataku tertuju pada sebuah album foto kecil yang tergeletak disebelah kakiku. Aku memungutnya. Aku meraba sampul album foto berwarna merah pucat itu sebelum membukanya.

“ Jangan!” Panji menyambar album itu dari tanganku.

“ Hei!” pekikku. “ Sopanlah!”

Wajahnya mendadak menjadi muram. “ Maaf.”

Aku mendengus kesal. “ Kau malu aku melihat fotomu waktu bugil?”

Panji mengangkat sebelah alisnya.

“ Waktu kau bayi,” aku menambahkan.

Panji mencibir. Tapi wajah tampan itu tidak terlecehkan sama sekali. Ketampanan yang sempurna. Membuat jantungku berdebar tanpa kusadari.

“ Bilang saja kau ingin melihatku bugil pada saat aku bukan lagi bayi!” senyum jahil menghiasi wajah tampannya. Aku membayangkan, jika kepalanya tidak botak, cowok tengil ini pastilah ganteng sekali. Bahkan lebih dari ganteng sekali.

“ Najis,” sahutku kasar.

Panji menjitak ubun-ubun kepalaku. Kemudian dia menyimpan album itu diatas lemari yang tidak terjangkau olehku yang mungil ini.

Kemudian Panji duduk disampingku dan menatap lantai.

“ Ada yang ingin kau katakan?” tanyaku menebak pikirannya yang gelisah.

Panji Nampak seperti sedang menimang apa yang harus ia katakan.

“ Dalam pikiran juga boleh,” aku melanjutkan.

Panji menghela napas.

“ Sejak kapan kau bisa membaca pikiran?” tanyanya kemudian.

“ Apa itu penting?” tanyaku.

“ Ya,” jawabnya. Panji masih tetap menunduk.

“ Entahlah. Aku tidak tahu pasti kapannya. Yang jelas, aku sudah bisa membaca pikiran sejak balita,” jawabku. Entah mengapa, yang biasanya aku tidak berani memberitahu oranglain tentang rahasiaku ini, justru aku malah dengan lancar menceritakannya pada cowok yang baru saja kukenal.

“ Bagaimana rasanya saat itu?” Tanya Panji lagi. Aku semakin tidak mengerti arah pembicaraan ini. Aku mencoba mendengarkan pikirannya, namun tak terdengar apa-apa. Dia membentenginya. Itu membuatku kesal.

“ Seberapa penting masalah ini untukmu?” tudingku mulai jengkel. “ Memang apa hubungannya denganmu?”

Panji masih menunduk. “ Please, Nadine… tenang dulu. Jawab saja pertanyaanku.”

“ Apa untungnya untukku dengan menjawab semua pertanyaanmu? Sedangkan kau sendiri tidak mengatakan alasannya padaku!”

Panji menggeleng. Namun masih memandang lantai. “ Tidak sekarang. Belum saatnya.”

“ Aku semakin bingung, Panji!”

“ Ayolah Nadine, Please…” rengek Panji.

“ Nggak!” jawabku setengah membentak.

“ Aku akan menjelaskan alasannya saat…saat waktunya tepat,”

“ Waktu yang tepat,” aku tersenyum sinis. “ Kapan? Sepuluh tahun lagi?”

Panji menggeleng lemah. “ Aku tidak yakin waktunya. Tapi pasti. Pasti aku katakan.”

Aku semakin berapi-api. “ Kau aneh, Panji! Kita baru kenal kemarin! Tapi kau bersikap seperti sudah kenal bertahun-tahun denganku saja!” airmataku mulai menggenang. “ Jangan berbicara padaku lagi! Dan jangan mencoba membaca pikiranku lagi!!”

Aku melangkah setengah berlari menuju pintu kamar kost Panji. Lalu aku keluar dari situ dan masuk kedalam mobilku. Kunyalakan mesinnya dan aku tancap gas dari tempat itu. Aku jengkel setengah mati. Aku mengemudi dengan gila-gilaan. Aku tidak tahu akan kemana. Tapi tidak mungkin pulang. Aku tidak ingin ibuku melihat keadaanku kacau begini. Aku baru sadar langit sudah mulai gelap. Dan aku memutuskan untuk pergi ke bukit yang terletak beberapa kilo dari rumahku. Aku memarkirkan mobilku diujung bukin yang mengarahkan pada pemandangan kota yang indah. Kota Bandung. Berbeda sekali ketika aku sedang di New York. Kota itu begitu ramai, padat dan bising. Tidak ada tempat setenang ini. Dengan pemandangan kota yang indah. Lampu-lampu berkelap-kelip disepanjang mata memandang.

Aku menyandarkan kepalaku pada stir mobil. Tanganku mengeluarkan liontin bertuliskan Edgar dan menggenggamnya. Aku melakukan kebiasaan lamaku. Mengadu pada liontin Edgar. Seakan-akan dia akan mendengarkannya saja.

Edgar.

Aku tidak peduli dia akan mendengarkan atau tidak. Aku tetap mencurahkan isi hatiku padanya. Kalau saja saat itu aku saja yang mati. Bukan kau. Apa yang akan kau lakukan sekarang? Bersenang-senang? Atau justru terpuruk sepertiku? Aku merana. Seakan-akan aku tidak memiliki harapan untuk hidup lagi. Aku butuh kau, Edgar. Aku butuh kau yang akan menenangkanku, mendengar keluh kesahku.

Aku sekarang tidak bisa mempercayai siapapun. Aku tidak ingin berteman dengan siapapun. Aku takut. Apa maksud Panji yang seperti menginterogasiku? Maksudnya apa? Dia mencoba membentengi pikirannya dariku. Dia membuatku jengkel, Edgar. Oh, Edgar. Aku ingin memelukmu. Aku ingin kau melindungiku dalam pelukanmu yang hangat.

Hujan mulai menetesi kaca mobilku. Lama-lama semakin lebat. Keadaan kota agak berkabut sekarang. Hujan yang besar namun tidak ada petir yang menyambar. Udara tiba-tiba menjadi dingin. Hidung, tangan dan telapak kakiku menjadi dingin. Tapi dada dan kepalaku terasa panas.

Aku keluar dari mobil. Membiarkan air hujan mengguyurku dan membuat kepalaku dingin dan hatiku juga dingin. Untunglah karena hujan keadaan bukit menjadi sepi. Hanya ada beberapa mobil yang terparkir cukup jauh dariku. Aku ragu apa mereka bisa melihatku dalam kegelapan seperti ini.

Kepalaku terasa pening sekarang. Tapi aku tenang tidak ada suara-suara yang aku dengan dalam pikiranku. Kepalaku makin terasa pusing. Aku ingat janjiku pada ibuku untuk tidak membuatnya menangisiku. Aku harus bersikap seolah tidak ada apa-apa. Meski dadaku bergejolak penuh kemarahan pada Panji Nugraha.

Aku memutuskan untuk masuk kembali kedalam mobil. Tidak peduli kursi mobil akan basah. Aku segera menstarter mobil dan melajukan mobilku menuju rumah.

Aku tiba kerumah dalam beberapa menit. Ibuku segera membawakan payung untukku.

“ Tidak usah, mom,” seruku dibalik berisik suara hujan menimpa bumi. “ Aku sudah basah!”

“ Kenapa kau hujan-hujanan, Nadine?” tanyanya cemas dan marah.

“ Jarak kamar Panji – “ hatiku mencelos begitu nama itu disebut, “ – dengan mobil jauh mom. Jadi aku berlari-lari menembus hujan!” alasanku. Mom merangkulku dibawah payung menuntunku masuk kedalam rumah yang nyaman.

“ Tapi kau kan tidak harus hujan-hujanan, Nadine sayang,” ibuku mengernyitkan dahi seperti tahu aku berbohong. “ kenapa tidak menunggu reda? Apakah Panji – “ lagi-lagi hatiku mencelos mendengar namanya. “ – tidak punya payung?”

“ Aku sanksi anak cowok memiliki payung,” sahutku. Ibuku menyodorkan segelas teh hangat untukku. Aku langsung meneguknya, “ kita tidak tahu kapan hujan akan berhenti. Aku tidak mau membuat kau menunggu terlalu lama, mom.”

“ Oh, Nadine,” ibuku memeluk tubuhku yang basah. “ Sebaiknya sekarang kau ganti baju. Tubuhmu dingin, nak.”

Aku mengangguk lalu beringsut menuju kamarku. Setelah pintu kamar tertutup, aku menguncinya dan menyalakan lampu kamar. Aku mengeluarkan hapeku dari tas. Ada satu SMS dari Panji. Aku mendengus marah dan membacanya.

Mavkan aku, Nadine

Aku melemparkan hapeku keatas kasur. Lalu aku beranjak kekamar mandi. Untuk melunturkan sisa kemarahanku.

Tidak ada komentar: