Sabtu, 18 Juli 2009

Feelings: part 4 - kenyataan

4. Kenyataan




Aku merasa seperti disambar oleh petir. Seluruh tubuhku mengejang dan kaku. Pikiranku kosong seperti orang tolol. Mataku terbelalak kaget. Aku merasa hampa selama beberapa saat. Lalu aku merasa mataku panas dan kusadar bahwa air mataku siap meluncur.

Pintu kelas sudah dibuka. Seluruh teman-teman masuk kedalam kelas, kecuali Panji. Dia masih memerhatikan aku dan Gianny. Napasku sesak, bibirku bergetar. Kusadar aku akan segera menangis. Dengan sigap aku segera bangkit dan berlari menuruni tangga. Aku memutuskan bolos kuliah hari ini.

Ada apa Nadine? Kau kenapa?

Panji mengejar dibelakangku. Aku berusaha lari secepat aku bisa. Aku berhasil tidak didului Panji dan melesat keluar lobi kampus dan menembus hujan. Aku segera masuk kedalam mobilku. Tapi Panji segera mengikutiku, Gianny berada dibelakangnya. Mereka menahan pintu mobilku sebelum aku sempat menutupnya.

” Tidak! Tinggalkan aku!” jeritku ditengah-tengah gemuruh petir.

” Ada apa, Nadine?” tanya Panji balas berteriak untuk mengalahkan suara derasnya hujan.

Dibelakangnya, Gianny menyentuh bahunya dan memberi isyarat untuk mendekatiku. Mengajakku berbicara.

” Nadine, kau harus mendengarkan penjelasanku. Baru kau boleh memilih untuk memusuhiku atau tidak.” Gianny menatap mataku lekat-lekat.

Oke. Disinilah aku sekarang. Didalam kamar Panji bersama Gianny dan Panji – tentu saja. Keduanya duduk dilantai - sepertiku – dihadapanku. Keduanya menunduk menatap lantai seperti yang aku lakukan. Panji tiba-tiba bangkit dan kembali lagi kehadapanku setengah menit kemudian. Ia membawa dua helai handuk merah.

” Pakailah, Nadine. Keringkan dulu tubuhmu.” – aku menatapnya tiga detik lalu menerima sodoran handuknya karena menyadari aku menggigil. ” Kau juga, Gianny.”

Aku melilitkan handuk merah yang lebar itu kesekeliling tubuhku yang masih mengenakan pakaian lengkap. Begitu juga Gianny.

” Jelaskan padaku semuanya,” tuntutku pada Gianny dengan suara bergetar karena menggigil kedinginan.

Gianny menatapku lalu kembali memandang lantai. ” Aku memang tunangan Edgar. Tidak, sebenarnya orangtua kamilah yang menjodohkan kami. Aku mencintai Edgar. Sama seperti kau yang mencintainya. Aku mengenal Edgar sejak balita. Rumah kami berseberangan. Kondisi badanku sangat lemah waktu itu. Aku tidak bisa bermain keluar rumah sedikitpun. Sekolahpun aku harus dirumah. Aku sering memperhatikan kau dan Edgar bermain dihalaman rumah Edgar. Aku iri sekali pada kalian, tapi aku sadar bahwa aku takkan pernah bisa menjadi seperti kalian

” Aku mempunyai penyakit leukimia. Sampai sekarangpun kondisi tubuhku tidak juga membaik. Aku masih sering dirawat dirumah sakit. Namun saat itu, kondisiku benar-benar kritis. Aku sudah akan mati. Namun aku mempunyai permohonan terakhir pada kedua orangtuaku,” gigi Gianny bergemeletruk sambil bercerita. Dengan gesit, Panji bangkit lagi untuk membuatkan teh panas untuk Gianny dan aku.

” Kalian berdua minumlah ini,” Panji menyodorkan dua gelas besar berisi teh panas pada kami. Lalu kembali bersila dilantai.

” Terima kasih. Permintaan terakhirku saat itu simpel saja. Aku hanya ingin Edgar menjadi milikku. Hanya milikku.” Gianny meneruskan ceritanya. Dia seperti tidak menyadari bahwa setiap katanya merupakan pedang yang tajam yang mengiris-iris hatiku. ” Dan akhirnya kedua orangtuaku memohon-mohon pada orangtua Edgar agar Edgar kecil mau bertunangan padaku. Karena tidak mungkin kami menikah.” Gianny meletakkan gelasnya dilantai dan tangannya mencengkeram bahuku.

” Beruntung aku tidak jadi mati. Dan Edgar tetap saja setia padamu!” suara kita melengking memilukan. ” Saat aku tahu dia mati karena melindungimu, aku memutuskan untuk menemuimu. Namun kau sudah pindah ke Indonesia,”

” Jadi kau mengikutiku kesini?” potongku.

” Ya!” sahutnya tegas.

” Untuk apa? Balas dendam padaku?” tanyaku galak.

Gianny melepaskan cengkeramannya dan kembali terduduk lemah. ” Awalnya seperti itu. Namun setelah aku tahu siapa Panji sebenarnya, aku membatalkan niatku. Aku akan membantumu melawan The Black Hat dan membunuh semuanya!” mata Gianny berapi-api.

” Memangnya Panji itu siapa?” tanyaku makin bingung karena kondisi sudah semakin membingungkanku.

” Aku tak bisa mengatakannya padamu, Nadine. Karena semua itu justru akan mengacaukan masa depan yang akan terjadi,” ujar Gianny.

Siapa kau?, aku bertanya dalam pikiran pada Panji.

Aku...aku...si gembala sapi, Panji berusaha melucu.

Tidak lucu!, sahutku kecut. Beritahu aku!

Panji melirik Gianny memohon pertolongan.

” Panji menyukaimu, Nadine!” sahut Gianny. Aku tak tahu ia benar atau berbohong padaku.

” Lalu?” aku semakin bingung.

” Dia ingin melindungimu dari para mafia itu,” jelas Gianny.

Aku bagaikan disambar petir kembali. Hal yang paling aku takuti dan aku benci kembali menghadapku. Orang-orang terdekat dihidupku berusaha menyelamatkanku dengan rela mengorbankan nyawa mereka. Tidak. Aku tidak mau. Aku tidak akan membiarkan orang-orang disekelilingku terlibat masalahku. Jika aku harus mati, biarlah aku mati sendiri. Tidak perlu melibatkan orang-orang disekelilingku.

” Tidak!!!” tanpa aku sadari, aku menjerit. Mereka berdua memandangku dengan kaget. Aku memandang mereka sejenak lalu aku melempar handuk sembarangan dan berlari keluar kamar. Aku merasa benci pada diriku sendiri.

Aku masuk kedalam mobil lalu mengendarainya kencang-kencang ditengah hujan yang sangat lebat. Lalu tanpa aku lihat, sebuah truk menyalip dengan kecepatan tinggi dan menghantam mobilku.

Tidak ada komentar: