Sabtu, 18 Juli 2009

Feelings part 5 - AKU HANYA MEMPERHATIKAN

5. Aku Hanya Memperhatikan




” Nadine...”

Aku menoleh kesumber suara yang tidak asing bagiku. Itu suara Edgar. Dia masih sama gantengnya dengan terakhir kali aku lihat.

” Edgar...”

” Sepertinya kamu lelah menjalani rutinitasmu,” ujar Edgar lembut seraya tersenyum.

Aku rindu dengan senyuman itu.

” Mau ikut bersamaku untuk beberapa waktu? Kita refreshing...” sambungnya. Aku tidak mengerti dengan maksudnya.

” Refreshing gimana?? Aku masih harus sigap untuk menghadapi para mafia itu, Edgar...” sahutku.

Edgar tersenyum lagi. ” Kemarilah...” dia menyodorkan tangannya untuk kusambut. Aku ragu sejenak namun akhirnya menyambut tangannya. ” Untuk sementara kamu hanya memperhatikan saja, Nadine...Akan ada yang menggantikanmu mengurus urusanmu didunia...”

Edgar menarik tanganku menyusuri lorong putih itu.


* * *

IN PANJI’S EYES

Aku tidak tega melihatnya dalam keadaan seperti ini. Menyedihkan sekali tidak dapat membaca pikirannya lagi. Aku duduk dikursi samping tempat tidurnya. Aku sedih melihat jarum infus menancap ditangannya yang mulus. Aku tidak menduga dia akan mengalami kecelakaan mobil. Jika tahu akan begini, lebih baik aku tidak mengatakan kebenarannya. Biarkan saja seperti sebelumnya.

Wajahnya masih saja terlihat cantik walaupun tampak pucat dan alat bantu bernapas menutupi hidung dan mulutnya. Hhhh...kenapa nggak dari dulu saja aku menyatakan perasaanku padanya?

Matanya terbuka! Mata Nadine terbuka!

Aku segera memencet tombol untuk memanggil suster. Beberapa menit kemudian suster datang.

” Suster, Nadine sadar!!” ujarku histeris. ” Cepat panggil dokter!”

Lalu beberapa menit kemudian seorang dokter yang sudah tampak tua, dokter yang menangani Nadine, dan tiga orang suster datang diikuti oleh orangtua Nadine yang terlihat lelah. Wajar saja...sudah hampir dua minggu Nadine koma.

” Kondisinya baik-baik saja, hanya beberapa memar dibadan dan kepalanya saja. Dia masih harus dirawat untuk beberapa waktu sampai kondisinya pulih,” kata dokter setelah memeriksa keadaan Nadine.

Bola mata Nadine bergerak memperhatikan satu per satu orang yang ada diruangan rumah sakitnya. Lalu terakhir, matanya tertuju padaku lalu pada dokter.

” Dok, bisa lepaskan alat bantu napas ini tidak?” Nadine bersuara. ” Ini sama sekali tidak membantu justru malah menyusahkanku!”

” Belum bisa, kamu kan belum pulih betul,” jawab dokter.

Namun akhirnya Nadine membuka sendiri alat bantu napasnya dan duduk dari tidurnya.

” Nadine!!” mamanya Nadine langsung memeluk anaknya sambil menangis bahagia. ” Akhirnya kamu bangun juga sayang...”

Nadine menoleh dengan ekspresi datar. ” Aku lapar! Bisa bawakan aku sepuluh kotak pizza?”

Kontan kami semua yang ada didalam ruangan terbengong-bengong. Aku heran, koko ada orang baru bangun dari komanya selama dua minggu justru langsung minta pizza? Sepuluh kotak pula!

” Nak, kamu belum boleh makan pizza. Makan makanan rumah sakit saja ya...Nanti dibawakan...” papanya Nadine yang pertama sadar dari syoknya.

” Om, maaf, maksudku ayah, aku baik-baik saja! Aku merasa sehat! Aku lapar!!” ujar Nadine dengan nada sedikit keras dan kasar. Seperti bukan Nadine saja.
Ah tapi mungkin ini karena dia masih linglung akibat koma selama dua minggu.

” Suster bawakan makanan rumah sakit saja ya,” dokter tersebut masih ngotot membawakannya makanan rumah sakit.

Kulihat Nadine menatap galak sang dokter, lalu dia melepaskan sendiri jarum infus yang menancap ditangannya lalu melompat menerjang si dokter. Aku takjub melihatnya. Seperti bukan Nadine saja. Ku coba membaca pikirannya. Yang kubaca adalah dia memang benar-benar memikirkan makanan. Kontan aku tertawa ngakak. Seluruh orang diruangan memandangku aneh.

” Maaf, maaf...aku permisi sebentar...” aku langsung keluar dari kamar rawat Nadine. Dan melanjutkan tawaku.

” Panji!”

Aku menoleh kearah kiri. Kulihat Gianny datang dengan wajah bingung.

“ Kau kenapa??“

“ Hahahaha...Tidak apa-apa... Kau datang menjenguk?“ tanyaku.

Gianny mengangguk. “ Nadine sudah sadar?“

Aku terkekeh kecil. “ Lihat saja kedalam!“

Gianny bingung melihat ekspresiku. Lalu dia membuka pintu kamar rawat Nadine. Langsung terdengar suara heboh Nadine dari dalam sana. Kulihat wajah Gianny pucat.

Dia memandangku, ” Nadine kenapa?”

Aku terkikik lagi. ” Entahlah, dia jadi begitu ketika sadar.”

” Lepaskan aku!! Aku sehat!! Aku baik-baik saja!! Aku mau pizza!!!” Nadine menjerit sambil terus meronta karena tangannya dipegangi olet perawat.
” Jauhkan jarum suntik itu dariku!!! Hei! Hei! Pak tua!! Jauhkan jarum itu!! Apa yang kau la...ku...kan...” seketika Nadine tertidur lagi.

” Dokter, anak saya kenapa? Kenapa wataknya jadi berubah begitu?” mama Nadine terlihat cemas.

” Saya juga tidak mengerti. Mungkin kepalanya terbentur, sehingga dia masih linglung. Saya akan periksa hasil rontgen-nya lagi. Permisi.“ Dokter dan perawat-perawatnya pergi.

Aku mendekati tubuh Nadine yang terbaring. Ingin aku mencium keningnya. Gianny berdiri disampingku. Tatapannya cemas dan kosong. Dia berbicara padaku dalam pikirannya.

Gianny : Ada yang aneh dengannya.

Aku berbisik, ”Aku juga berpikir begitu. Tapi kurasa dia sudah sehat”.

Gianny : Aku merasakan aura aneh disekeliling Nadine. Bukan aura jahat, sih, justru auranya sangat nyaman. Tapi entah aura apa ini.

Aku : ” Mungkin aura malaikat penjaganya?”

Gianny : Mungkin.

Aku : ” Kau tidak bisa melihatnya??”

Gianny menggeleng pelan.

” Ya ampun, nak...kamu ibu bersyukur kamu sehat-sehat saja...” mamanya Nadine duduk disofa kamar rawat sambil menhela napas lega. Papanya Nadine duduk disamping mamanya.

” Yeah...hahahaha...kurasa dia sangat baik-baik saja. Bangun dari koma selama dua minggu lalu minta dibelikan pizza?? Hahahahaha...” papanya tertawa geli.
” Sebaiknya aku memang membelikannya sebelum dia bangun dan mengamuk minta pizza lagi...” papanya Nadine bangkit dari sofa. ” Kurasa kalian juga lapar. Akan aku belikan pizza juga ya...”

Pak Dimas, papanya Nadine, keluar dari ruangan. Kulihat mamanya Nadine, tertidur disofa. Wajahnya tampak lega. Beda dari kemarin-kemarin.

” Ini aneh, Panji!” Giannya berbisik padaku. ” Nggak ada makhluk halus yang nggak bisa aku lihat!”

Aku menatap wajah malaikat Nadine yang sedang tertidur pulas. Entah hanya dalam perasaanku saja atau bukan, aku merasa dia bukan Nadine yang kukenal. Aku merasa asing dengannya.

Aku dan Gianny menunggu diluar kamar. Duduk dikursi tunggu sibuk dengan pikiran masing-masing. Sudah dua minggu sejak kecelakaan itu, aku sangat bersyukur Nadine sudah sadar sekarang. Jika saja dia tidak bangun lagi, aku tidak akan memaafkan diriku sendiri. Jujur kuakui, aku memang menyukai Nadine. Sejak pertama kali bertemu, sejak pertama kali tahu dia bisa membaca pikiran. Entah apa jadinya jika dia tahu siapa aku sebenarnya. Mungkin dia akan membenciku seumur hidupnya.

Nadine, adalah gadis yang anggun dan periang. Namun setelah orang yang dia sayangi meninggal, dia menjadi pemurung. Menyesakkan melihat dia terus murung sepanjang waktu.

Handphoneku berdering. Aku merogohnya dari saku celana jeans dan melihat siapa peneleponnya dilayar handphone. Aku menghela napas lalu berjalan menjauhi Gianny.

” Halo,”

” Tuan muda, kapan tuan muda akan kembali? Tuan besar menyuruh Anda untuk segera pulang,” aku mengenali suara ini. Dia adalah salah satu bodyguard dirumahku di New York.

” Bilang padanya, sebelum dia mengabulkan apa yang aku minta, aku tidak akan pernah pulang!” sentakku seraya memutuskan sambungan teleponnya.

” Ada masalah lagi, Nji?” tanya Gianny yang entah sejak kapan ada dibelakangku.

” Dia menyuruhku untuk pulang,” sahutku. Gianny tahu rahasia yang aku tak bisa mengatakannya pada Nadine. Dia tahu karena dia mengetahuinya sendiri tanpa perlu aku repot-repot untuk menceritakannya.

” Lalu kenapa kamu tidak pulang saja? Kamu bisa saja membicarakan lagi hal itu dengannya,”

” Aku tahu bagaimana sifat ayahku. Jika aku kembali kesana, dia tidak akan membiarkanku kembali kesini. Dan melakukan tindakan sesuka hatinya. Aku harus menghentikannya!” ujarku. Aku mulai stres. Aku benci pada ayahku yang begitu suka seenaknya sendiri.

” KELUARKAN AKU DARI SINI!!!”

Aku mendengar suara teriakan Nadine dari dalam kamar. Aku dan Gianny saling pandang. Lalu sama-sama tertawa.

” PIZZA YANG KAU BAWA ITU KURANG!!! AKU MINTA KAN SEPULUH KOTAK! KENAPA CUMA DUA KOTAK??”

Aku lihat ayah Nadine keluar dari kamar. Dia memandang aku dan Gianny dengan pandangan tak percaya. Dia menggelengkan kepalanya.

” Apa sebelumnya Nadine memang banyak makan dan kasar begitu?” tanyanya pada kami.

” Sebelumnya Nadine selalu murung, lebih banyak diam dan jarang makan,” Gianny yang menjawab.

” Sudah berubah rupanya dia sekarang,” papanya Nadine duduk dikursi tunggu. ” Tapi syukurlah, sepertinya dia tidak lagi meratapinya...”

Tidak ada komentar: