Sabtu, 18 Juli 2009

Feelings: part 3 - GIANNY

3. Gianny




Jadwal kuliahku hari ini siang. Pukul 1. Dan kini aku masih menggeliat dibawah selimut tebalku dengan nyaman. Tercium olehku bau tanah yang basah. Hujan rupanya diluar sana. Mataku masih terpejam, namun hidungku mengendus udara menikmati ketenangan yang kudapat. Dan hingga akhirnya aku terlelap kembali.

Aku berlari disebuah lorong rumah sakit. Sepi. Tak ada siapapun disini. Aku berlari seorang diri. Terus berlari hingga aku masuk kesebuah ruangan yang temaram. Aku mendengar suara isak tangis. Kulihat ibuku berdiri disamping tempat tidur yang diatasnya ada seseorang terlelap dengan damai. Aku menghampiri tempat tidur tersebut.

Aku terkesiap. Itu aku. Aku tertidur dengan ditangisi oleh ibuku, ayahku, Panji, dan Gianny. Aku heran mengapa bisa ada Gianny disini. Seseorang menepuk bahuku. Aku menoleh cepat karena kaget.

Aku lebih terkejut lagi saat melihat siapa yang menepuk bahuku. Itu Edgar. Dia tersenyum padaku. Senyumnya yang mempesona kini hadir didepan mataku.

“ Ikutlah denganku, Nadine…” suaranya yang lembut seakan menghipnotis.

“ Kemana?” tanyaku linglung.

“ Ketempat dimana kau dan aku dapat terus bersama.”

Sejenak aku ragu. Bimbang. Aku memandangi tubuhku yang tergeletak lemah ditempat tidur rumah sakit. Kupandangi ibuku, ayahku, Panji dan Gianny lalu kutatap wajah malaikat Edgar.

“ Apakah mereka ikut?” tanyaku.

Edgar menggeleng lembut. “ Tidak. Hanya kau dan aku.”

“ Aku tidak bias, Edgar. Aku tidak mungkin meninggalkan mereka.”

Senyum Edgar mengembang lemah. “ Aku mengerti. Selamat tinggal, Nadine. I love you.”

Tiba-tiba mataku terbuka lebar. Aku memandang langit-langit kamarku. Mimpi. Itu hanya mimpi. Napasku memburu. Aku menarik napas untuk mengatur detak jantungku yang berdetak kelewat batas.

Aku mengerang. Kulirik jam yang menempel didinding kamar. Pukul sebelas. Pantas saja mimpiku buruk. Tidak baik anak gadis tidur sampai siang. Aku meregangkan badan kemudian bangkit dari kasur dan bergegas menuju kamar mandi.

Kulihat ibuku sedang menonton infotainment diruang tengah. Wajahnya serius sekali. Kurasa ia tidak menyadari aku menghampirinya. Aku langsung mengecup pipinya dan ia terlonjak kaget.

“ Ya ampun, Nadine…kau membuatku kaget…” Ibuku memandangiku seraya mengelus-elus dadanya.

Aku hanya nyengir kuda. “ Sori, Mom…”

“ Kau tidak kuliah?” Ibuku bertanya dengan nada menuduh.

“ Aku masuk pukul satu. Baru selesai mandi dan aku lapar,” sahutku seraya duduk disamping ibuku.

“ Makanlah. Aku sudah membuatkanmu lasagna.”

“ Wow, lasagna… Aku makan sekarang ya, Mom. Kau mau makan bersamaku?”

“ Baiklah…”

Aku dan Ibuku beranjak dari sofa menuju ruang makan. Aku duduk dikursi makan sementara Ibuku mengeluarkan lasagna dari microwave. Dia memberiku sepotong besar lasagna dan memotong bagiannya juga.

“ Bagaimana hubunganmu dengan Panji?”

Hatiku langsung mencelos begitu nama Panji disebut. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.

“ Baik.”

Ibuku menilik wajahku. Aku terus menghadap lasagnaku agar tidak bertatapan dengannya. Begitulah aku jika sedang ada masalah. Tidak berani bertatapan dengan Ibuku.

“ Wajahmu tidak berkata seperti itu. Ada apa, darling?” aku kadang merasa Ibuku seperti bisa membaca pikiranku.

“ Nothing, Mom.” Sahutku singkat. “ Bisa tidak jangan bahas ini? Kau bisa merusak seluruh sisa hariku hari ini!”

Ibuku mendengus. “ Baiklah… Baiklah.”

Aku buru-buru melahap makananku yang masih panas. Otomatis membuat lidahku terbakar. Tapi aku tak peduli dan berharap cepat pergi dari rumah.

“ Aku berangkat dulu ya, Mom!” aku bangkit lalu menghampiri Ibuku untuk mengecup pipinya.

“ Hati-hati. Kalau ada apa-apa ceritakan padaku,” ujar Ibuku dengan cemas.

“ Iya. Love you, Mom!”

“ Love you too!”

Aku menyambar kunci mobilku yang tergeletak dilemari hiasan milik Ibuku. Lalu segera menuju garasi dan sesegera mungkin cepat berangkat dari situ. Sebenarnya aku juga tidak terlalu berharap tiba dengan cepat ke kampus. Karena itu akan membuatku semakin cepat bertemu dengan Panji.

Hatiku tersentak begitu pikiranku menyebut nama Panji. Amarahku timbul lagi. Pikiranku kembali mengingat kejadian kemarin di kamar kost Panji. Aku kesal karena dia berusaha membuka kembali kenangan buruk yang berusaha aku simpan rapat-rapat.

Kulirik jam tanganku. Baru pukul dua belas lebih tiga. Matahari agak terik bersinar sekarang. Aku memarkirkan mobilku dibawah pohon agar adem. Kemudian aku keluar dari mobil dan berjalan santai masuk kedalam kampus.

Kepalaku mulai berdengung saking banyaknya orang yang sedang berbicara dalam pikirannya. Aku meringis begitu mendengar pikiran yang kotor – berniat untuk meniduri pasangannya. Tapi aku penasaran juga untuk mengetahui kejadian setelah pikiran itu benar-benar terjadi. Hahaha… pikiranku ngawur.

Aku menoleh karena ada seseorang yang akan segera memanggilku.

“ Hai, Nadine!” – benar, kan. Itu Gianny. Dia berlari-lari kecil dengan satu tangan menahan poninya agar tidak berantakan terkena angin.

“ Hai, Gi…” aku membalas sapaannya dan menghentikan langkahku.

Gianny berdiri dihadapanku dengan napas terengah. Lalu ia menyejajariku dan mengajakku melangkah menuju kelas.

“ Mana Panji?” tanyanya.

Oh please…kenapa pertanyaannya itu yang pertama muncul? Kenapa tidak menanyakan pertanyaan lainnya saja? Seperti kabarku, atau yang lainnya.

“ Tidak tahu,” sahutku.

“ Kau bertengkar dengannya, ya?” tanyanya lagi.

” Kelihatannya begitu?” aku balik bertanya.

” Entahlah. Tapi kalian terlihat menjauh. Padahal sebelumnya kalian dekat sekali.”

Oh, miss sok tahu. Aku merasa sedikit tidak suka padanya. Ia seorang gadis tukang gosip yang selalu ingin tahu urusan orang lain. Jenis orang yang tidak kusuka. Aku sanksi apakah aku bisa berteman baik dengannya.

Kami berdua menaiki tangga menuju lantai tiga ruangan kuliah kami hari ini. Selama perjalanan, Gianny mendominasi pembicaraan. Aku hanya menyahut dengan ”Hmmmm”, ”Oh” atau ”Benarkah?”. Malas untukku berbicara panjang lebar.

Akhirnya kami tiba dilantai tiga. Kulihat baru beberapa teman sekelasku yang sudah duduk didepan pintu kelas sambil browsing dengan laptop mereka. Aku menghela napas karena pintu kelas belum dibuka. Itu tandanya aku masih harus mendengarkan Gianny mengoceh.

Aku memandang keluar jendela lorong lantai tiga. Aku kaget melihat kondisi langit yang sudah berubah menjadi abu-abu kelam. Sepertinya akan ada hujan badai. Aku jadi menyesal memarkirkan mobilku dibawah pohon. Bagaimana jika pohonnya ambruk dan menimpa mobilku?

Lima detik kemudian terdengar suara petir menggelegar. Kami semua terlonjak kaget. Dan sedetik kemudian hujan deras mengguyur dengan beberapa kepingan es. Sesaat aku sedikit lega karena pohon yang menaungi mobilku melindunginya dari terpaan hujan es.

” Wuih...seram sekali diluar sana,” Gianny bergumam. ” Semoga mobilmu tidak apa-apa.”

Aku hanya tersenyum kecut. Andai dia bisa mendengar pikiranku, mungkin dia sudah bungkam daritadi. Aku menghela napas, duduk dilantai dekat jendela dengan menyandarkan punggungku pada dinding dan menyandarkan juga kepalaku. Jika sedang keadaan hujan seperti ini aku jadi teringat Edgar. Teringat mimpi tadi pagi. Mimpi dimana Edgar mengajakku pergi. Aku jadi bertanya-tanya, apa yang terjadi jika aku mengikuti ajakan Edgar. Akankah aku masih disini? Atau aku sudah mati?

Aku merinding membayangkan tubuhku terbujur kaku ditutupi kain kafan. Mom menangis disebelah tubuhku yang kaku, Dad berusaha terlihat tegar dengan menenangkan Mom. Tidak. Mati selalu ada didaftarku yang paling bawah. Aku belum mau mati. Aku belum siap mati. Tapi jika aku mati, akankah para mafia itu berhenti mengejar keluargaku? Jika jawabannya adalah ya, aku rela mati untuk melindungi keluargaku. Tapi jika jawabannya adalah tidak, aku yang akan membunuh mereka. Aku tersenyum kecut.

” Nadine? Jangan melamun! Nanti kesambet setan, lho!” cerocos Gianny.

Ya, dan kamu adalah setannya. Aku tersenyum kecil padanya.

Jika dia setan lalu kau apa?

Suara Panji terdengar dikepalaku. Spontan mataku beralih pada sumber suara. Panji sudah berdiri beberapa meter didepanku dengan rambutnya yang lepek karena basah oleh hujan dan pakaiannya yang basah kuyup. Menatapku dengan tatapan geli. Dia tahu aku jengkel setengah mati karena tidak dibiarkan sendiri oleh Gianny. Aku langsung mengalihkan pandanganku darinya.

Kau masih marah, ya?

Aku diam. Tak menjawab. Berusaha menutup pikiranku agar tak bisa dibaca atau didengarnya.

Maafkan aku. Kumohon.

Aku masih bungkam. Tidak berminat menanggapinya.

” Dine, Panji melihat kearahmu terus,” bisik Gianny.

” Aku tahu,” sahutku pendek.

” Maukah kau memaafkan dia?” tanya Gianny – lagi-lagi mencampuri urusanku.

” Tidak.” sahutku mantap.

Gianny menggeleng yakin. Dia mengguncang bahuku kencang. ” Kau harus memaafkan dia dan berteman lagi dengannya, Nadine. Nyawamu sedang dalam bahaya. Para pria berbaju dan bertopi hitam itu sedang mencarimu. Dan kurasa Panji tahu jalan keluar dari masalahmu itu!”

Aku tercenung menatap Giannya. Aku bingung. Darimana dia tahu tentang black hat yang sedang mengejarku? Lalu mengapa dia bilang bahwa Panji mengetahui jalan keluarnya? Aku yakin sekali tidak pernah membocorkan rahasiaku ini pada siapapun.

” Aku tahu, Nadine. Aku bisa melihat masa depan, masa lalu dan makhluk-makhluk yang tak bisa dilihat manusia biasa,” Gianny berusaha menjelaskan karena melihat ekspresi bingungku. ” Aku tahu masa lalumu dan juga masa depanmu, Nadine. Aku juga bisa melihat makhluk gaib yang mengelilingimu.”

Bulu kudukku meremang. Aku jadi takut pada gadis ini. Siapakah sebenarnya dia? Atau apakah dia ini? Aku ngeri jika ternyata Gianny bukan manusia. Tapi agak tenang juga jiwa dia adalah seorang cenayang.

” Apa maksud omonganmu tadi?” akhirnya aku kuasa mengeluarkan suara.

” Yang mana?” tanyanya.

” Semuanya.”

” Yeah, Nadine. Tolong jangan bocorkan rahasiaku ini pada orang lain. Maukah kau berjanji?”

” Ya, tentu.”

Gianny menarik napas panjang lalu mulai berbicara ketika petir menggelegar lagi. Kali ini hanya tinggal air yang turun dari langit. ” Aku mempunyai kemampuan melihat masa lalu, masa depan dan makhluk gaib. Kemampuanku ini didapati turun temurun dikeluargaku. Tapi ingat, aku ini berada dalam ilmu putih. Bukan ilmu hitam.” ia menjelaskan asal usul ilmunya dengan mimik serius. ” Aku tahu masa lalumu yang menyebabkan kau kehilangan orang yang kau sayangi. Aku tahu ada yang sedang mengejarmu karena menginginkan sesuatu darimu. Dapat kau jelaskan apa yang mereka inginkan?”

Aku menilik wajahnya. Berusaha membaca pikirannya. Tetapi aku tidak dapat menembus pikirannya. Dia bukan orang biasa. Aku menatap lekat-lekat matanya mencari-cari kalau dia itu bisa dipercaya.

” Aku bisa membaca pikiran,” kataku akhirnya. Kurasa aku dapat memercayainya. ” Komplotan mafia bernama Black Hat itu menginginkanku untuk membantu mereka. Aku diharapkan dapat membantu mereka mengalahkan pesaing-pesaing mereka.” bukannya merasa enggan dan marah, aku justru merasa lega ada yang dapat ku bagi dengan kisahku. Perasaanku menjadi agak sedikit lebih ringan.

Gianny mengangguk-angguk mengerti ceritaku.

” Hei, lalu apa hubungannya Panji dengan semua masalahku?” tanyaku.

” Bukan masalahmu. Tapi sekarang ini jadi masalah kita,” ralatnya.

Aku terbelalak kaget. Ini yang aku khawatirkan. Dimana saat orang-orang disekelilingku melibatkan diri dengan masalahku.

” Tidak! Tidak!” aku menggeleng kuat-kuat. ” Jangan melibatkan dirimu, Gianny! Kau bahkan tak ada hubungannya dengan masalahku!”

Gianny menghela napas berat. ” Ada. Tentu saja ada.”

Aku mengernyitkan kening tidak mengerti.

” Aku tunangan Edgar, Nadine.”

Tidak ada komentar: