Sabtu, 18 Juli 2009

Feelings part 6

6. Nadine Yang Lain




Aku mengantarkan Nadine pulang kerumahnya. Akhirnya dokter membolehkan Nadine keluar dari rumah sakit karena merasa Nadine baik-baik saja. Tapi menurutku, Nadine bukan hanya baik-baik saja, namun sangat baik. Bahkan aku maupun orangtuanya tidak perlu repot-repot memapahnya. Dia sudah bisa jalan sendiri dengan sangat sehat.

” Waaahhh....Rumahnya bagus sekali... Mobilnya juga bagus-bagus banget!”

Tapi Nadine aneh. Masa dia kagum sama keadaan rumahnya sendiri? Udah gitu, awalnya dia nggak mengenali kami semua. Kata dokter sih, mungkin itu karena akibat benturan dikepalanya.

” Waaahhh dikulkasnya banyak buah!!” Nadine langsung mencomot apel dan memakannya dengan sangat cepat.

” Nadine, sebaiknya kamu istirahat dikamarmu,” ujarku cemas.

” Istirahat lagi?? Hey, aku ini sudah tidur selama dua minggu dirumah sakit! Masa aku harus tidur lagi? Gak mau! Aku mau latihan karate! Tubuh ini lembek sekali! Aku harus membentuk otot-otot!”

Hah? Apa dia bilang? Otot-otot???

Nadine! Kamu kenapa?

Tidak ada jawaban. Dia tidak menyahutku dalam pikiran. Dan aku juga TIDAK BISA membaca pikirannya!!!

” Nadine, sejak kapan kamu berlatih karate?” tanya mamanya.

” Hah? Kok nanyanya aneh banget! Kan udah dari dulu! Dari aku SD!” sahutnya.

Kami semua terbengong. Terlebih lagi kedua orangtuanya. Aku baru tahu kalo Nadine berlatih karate. Kurasa orangtuanya juga tidak menyangkanya. Yang aku tahu Nadine itu menyukai balet. Bukan karate. Bahkan dulu dipukul sedikit saja dia langsung menangis. Sekarang dia bilang dia ikut karate dari SD? Sepertinya kepalanya memang benar-benar terbentur.

“ Tante, eh, mama...Aku lapar. Bisa masakkan aku makanan??”

Lapar? Dia baru saja menghabiskan dua belas kotak pizza! Bagaimana bisa dia lapar lagi? Aku saja rasanya mau muntah! Sejak kapan Nadine serakus ini?

” Ehm, iya. Kamu mau makan apa, darling?” tanya mamanya sambil menghampirinya yang sedang duduk dikursi meja makan yang sedang mengunyah apel keenam.

” Apa saja! Yang penting banyak dan enak!” sahutnya dengan suara nyaring.

Huft...aku nggak ngerti dengan Nadine yang sekarang.

” Nak Panji, bisa bicara sebentar?” papanya Nadine menyuruhku mengikutinya keteras depan. Aku pun mengikutinya. ” Duduklah.”

Aku duduk dikursi teras. Bersebelahan dengan papanya yang tampaknya masih bingung.

” Kau lihat perubahan pada Nadine, kan?” – aku mengangguk. ” Aku sangat khawatir padanya. Aku harus kembali ke New York mengurusi rencana ayahmu,” – aku jadi sangat merasa bersalah. ” Bisa kau jagakan Nadine untukku?”

Aku memandang ayah Nadine yang juga memandangku dengan penuh harap. Aku nggak mungkin menolak untuk menjaga Nadine. Tidak dimintapun aku pasti menjaganya.

” Aku akan menjaga Nadine dengan baik, om!” sahutku.

” Aku percaya padamu. Tolong juga jaga ibunya, tapi tidak perlu seprotektif pada Nadine. Rencananya aku akan menyuruh beberapa anak buahku untuk berjaga disini. Ya walaupun aku tahu mereka pasti akan menolak. Terlebih lagi Nadine. Jagalah Nadine walaupun anak buahku juga menjaganya. Jangan biarkan apapun melukai Nadine. Kau paham?”

” Paham sekali, om. Tapi aku pikir apa tidak mengundang perhatian jika Nadine selalu diikuti anak buah om? Maksudku, mereka kan rata-rata bule...”

” Ah, soal itu. Jangan khawatir. Anak buahku yang orang Indonesia juga banyak. Akan kusuruh beberapa dari mereka berjaga disini.”

Aku mengangguk paham. ” Maafkan ulah ayah saya, om. Saya juga tidak setuju dengan semua rencanya.”

” Aku mengerti, nak Panji, ini bukan salahmu. Absolutely...” ujar ayahnya Nadine. Setidaknya ucapannya dan kepercayaannya padaku membuatku tenang.

Tercium bau harum masakan dari dapur. Aku jadi merasa lapar. Tapi tentu saja tidak sopan kalau aku minta makan sekarang.

” Bau masakan istriku memang enak. Dan rasanya pun enak. Bagaimana kalau kita makan dulu?” - yes! Akhirnya aku ditawari makan. Tapi untuk menjaga wibawaku, aku hanya mengangguk pelan. Padahal dalam hati aku mengangguk-angguk seperti anjing. Hahahahaha...

Kami pun berjalan menuju meja makan. Di meja makan Nadine sudah menunggu dengan mata yang berbinar dan lidah terjulur. Mengingatkanku dengan anjing. Seingatku, Nadine adalah gadis yang anggun dan sopan. Aku duduk disampingnya.

Ibunya Nadine pun menghidangkan masakannya dimeja makan. Setelah berdoa bersama kami mulai mengambil nasi dan lauk pauk. Tapi aku kaget melihat Nadine yang makan dengan tergesa-gesa. Semua makanan dia comot. Dan nasinya pun menggunung dipiringnya. Olala... Bukan hanya aku yang kaget, tapi orangtuanya pun sama kagetnya dengan aku.

” Nadine, pelan-pelan saja makannya...” ujar ayahnya.

” Higa hiha! Hanhi hebuhu hahis! (Tidak bisa! Nanti keburu habis!) Ahu higa henah mahan mahanan heehak ihi! (Aku tidak pernah makan makanan seenak ini!)” ujarnya dengan mulut penuh.

” Hah? Kau kan setiap hari makan masakan ibumu!” ucapku. Tapi Nadine tidak mempedulikanku. Dia terus saja melahap makanannya dengan beringas. ” Nadine!” aku menarik piringnya. ” Kamu itu cewek! Nggak seharusnya makan dengan rakus seperti itu!”

Nadine menatapku marah. Tiba-tiba saja tinjunya menghantamku, membuat aku jatuh dari kursi. Tenaganya besar sekali.

” Jangan pernah sekali-kali menggangguku makan!!” bentaknya. Lalu dia pun meneruskan acara makannya. Aku terbengong-bengong melihatnya.

* * *

Sialan... Nadine membuat pipiku lebam.
Tapi aku heran. Sejak kapan gadis selembut Nadine memiliki tenaga sebesar itu. Aku yakin dia tidak menggunakan seluruh tenaganya. Jika ya, mungkin aku sudah terbang akibat ditonjoknya. Fiuh... Nadine...Nadine... Seperti bukan kamu saja! Aku tiba-tiba merasa geli dan tertawa terbahak mengingat kelakuan Nadine yang sekarang. Mungkin memang benar ini akibat benturan dikepalanya.

Aku kembali memandang wajahku yang lebam dicermin. Lalu meraih tasku dan beranjak menuju kampus. Hari ini aku membawa mobilku kekampus. Untuk berjaga-jaga siapa tahu aku harus mengantarkan Nadine pulang. Aku harus memenuhi janjiku untuk menjaga Nadine. Yah...Aku akan menjaganya.

Ketika aku tiba dikampus, aku melihat Nadine turun dari mobil alphard hitam diikuti oleh dua priba berbaju hitam dan berkaca mata hitam. Hemm.. Mereka itu bodyguardnya Nadine. Kurasa mereka itu orang-orang profesional. Aku menghampiri mereka setelah memarkirkan mobilku. Kedua bodyguard itu langsung protektif terhadap Nadine.

” Tenang, aku Panji, aku diminta pak Dimas untuk menjaga Nadine,” ujarku.

” Pak Dimas tidak berbicara apa-apa tentang hal itu!” ujar bodyguard yang berkepala botak.

” Sudah! Kamu jauh-jauh sajalah dari dia. Dia tidak kami ijinkan didekati siapapun! Ayo nona!” kata bodyguard berambut cepak.

BUAKKKK!!!!, ” Apa yang kalian katakan, hah?! Seenaknya saja aku tidak boleh didekati! Dia itu temanku tahu! Kalian seharusnya yang jauh-jauh dariku! Bikin repot saja! Ayo Panji!”

Aku sempat melongo sebelum mengikuti Nadine. Dia menendang dua bodyguardnya itu sampai tidak bisa bangun lagi dari tanah. Kurasa Nadine tidak perlu bodyguard... Hahahahahaha...

” Kenapa kamu tertawa?” tanya Nadine.

” Tidak apa-apa!” jawabku masih sambil terus tertawa.

Nadine yang sekarang jauh lebih menarik. Lebih bersemangat dan tidak semuram dulu.

” Eh, mana kalung yang biasa kau pakai?” tanyaku heran. Biasanya kalung berbandul cincin itu tidak pernah lepas dari leher Nadine.

” Oh, kalung itu ku copot. Rasanya leherku geli kalau pakai kalung!” sahutnya cuek.

Hah? Bukannya kalung itu berharga untuknya, ya? Itu kan kalung pemberian Edgar yang selalu dia ajak bicara itu... Apa mungkin Nadine sekarang sudah mau meninggalkan masa lalunya? Baguslah kalau begitu.

” Grrr.... Aku sebal. Apa sih maunya bapak itu! Pakai acara menyuruh bodyguard mengikutiku. Aku kan bisa menjaga diriku sendiri. Lagipula mereka menjagaku dari apa? Kalo Cuma dari cowok-cowok mesum sih bisa kujaga diri sendiri!”

” Bapak itu? Siapa?” tanyaku bingung.

” Bapak yang mengaku ayahku!” sahutnya.

” Lho? Dia kan memang ayahmu!”

” Tapi berlebihan sekali dia menjagaku!”

” Karena dia sangat menyayangimu. Aku juga akan menjagamu, kok...” Hem...pasti dia merasa tersanjung.

” Apa?? Kamu melecehkanku, ya? Kamu pikir aku nggak bisa menjaga diriku sendiri, hah?” Nadine membentakku. Aku terhenyak kaget. ” Kamu menantangku berantem, ya?!!”

Hah? Aku menantangnya berantem? Tentu saja nggak. Sejak kapan Nadine sekasar ini? Biasanya jika ku puji wajahnya akan merona. Tapi sekarang kenapa justru jadi marah-marah?

” Ng-Nggak kok, Nadine... Tenang saja... Aku nggak akan ikut campur masalahmu,“ ujarku akhirnya daripada kena tonjok lagi.

Nadine pun menurunkan tinjunya. “ Baguslah kalau begitu. Sebaiknya memang begitu,“ dia kembali berjalan. “ Eh, ngomong-ngomong, kita masuk kelas yang mana?“

Aku menggenggam tangan Nadine dan menariknya agar mengikuti aku. ” Ikuti saja aku dan jangan jauh-jauh dariku.”

Jantungku berdebar kencang. Is it love?? Seketika aku merasakan wajahku memanas. Sial... Aku melepaskan genggamanku ketika tiba didalam kelas. Seluruh penghuni kelas memperhatikanku dan Nadine. Yang kubaca dari pikiran-pikiran mereka adalah bahwa mereka iri padaku karena bisa dekat dengan Nadine. Dan yang cewek-ceweknya merasa cemburu pada Nadine. Hahahaha…entah kenapa aku merasa senang.

“ Panji! Nadine!” Gianny memanggil kami sambil melambaikan tangannya. Aku menarik tangan Nadine lagi agar mengikutiku duduk disamping Gianny.

” Umm...Nadine... Daritadi orang-orang itu mengikutimu terus.” Gianny berbisik.

Aku dan Nadine menoleh kearah pintu. Ternyata bodyguard Nadine masih mengikuti sampai depan kelas.

” Katanya sih mereka itu bodyguard,” sahut Nadine tak acuh. ” Padahal kan aku tidak perlu dijaga! Aku sanggup menjaga diriku sendiri!”

” Oiya, aku sudah mendapat penglihatan lagi tentang the black hat!” Gianny berbisik sambil mendekatkan kepalanya pada aku dan Nadine.

” Ha? Apaan tuh the black hat?” tanya Nadine bego.

Aku dan Gianny bengong. Saling lirik lalu memandang wajah Nadine yang innocent. Bagaimana bisa Nadine melupakan tentang mafia yang membunuh pacarnya? Aku nggak sanggup ngomong lagi.

“ Kamu nggak ingat siapa itu the black hat?” tanya Gianny memastikan.

“ Eh, um.. mafia yang membunuh pacarku itu bukan?” tanyanya salah tingkah.

Gianny mengangguk pelan. Dia merasa ada yang aneh dengan Nadine. Kurasa dia merasakan lagi aura aneh disekitar Nadine. Jujur, ini memang aneh. Aku sama sekali tidak bisa membaca pikirannya lagi. Bahkan tidak bisa berkomunikasi melalui pikiran lagi. Membuatku tidak nyaman. Aku jadi tidak tahu apa yang Nadine pikirkan. Sangat tidak nyaman.

” Ada progress apa?” tanya Nadine.

” Menurut penglihatanku, mereka akan mulai bergerak sekitar enam bulan lagi,” jawab Gianny. ” Entah apa yang mereka tunggu. Tapi mereka sangat berhati-hati kali ini.” Wajahnya berubah serius. ” Semoga penglihatanku salah!” ujarnya sambil menggelengkan kepalanya.

” Ada apa, Gia??” tanyaku.

” Akan ada yang mati.” sahutnya.

” Mati? Siapa? Para mafia itu?” tanyaku. ” Atau salah satu dari kita?”

Gianny menunduk. ” Salah satu dari kita.” bisiknya pelan.

Salah satu dari kami akan ada yang mati. Kalaupun harus begitu, kuharap bukan Nadine. Aku akan melindunginya. Karena semua ini memang salahku. Aku nggak akan membiarkan apapun terjadi pada Nadine. Tidak akan. Aku bersumpah.

” Selamat pagi, class!” dosen kewiraan sudah datang. Kami semua langsung diam dan pura-pura memperhatikan. Padahal kami semua sibuk dengan pikiran masing-masing.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

tulisan km bagus dech... keep going yah... kyx bis sukses d dunia penulis :)